Jumat, 24 Juni 2011

Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya

Masa yang paling indah adalah masa remaja.
Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja.
Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja.


Remaja
Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
2. Ketidakstabilan emosi.
3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
7. Senang bereksperimentasi.
8. Senang bereksplorasi.
9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja.
Permasalahan Fisik dan Kesehatan
Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al).
Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan berskplorasi.
Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang
Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.
• Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
• Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
• Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
• Cinta dan Hubungan Heteroseksual
• Permasalahan Seksual
• Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
• Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama
Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:
Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya "jatuh cinta".
Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan dengan permasalahan dengan teman.
Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja.
Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.
Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.
Sumber : Kompas

ETIKA, MORAL DAN AKHLAK


Etika adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.


Akhlah adalah suatu ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan buruk, terpuji dan tercela, menyangkut perkataan dan perbuatan manusia lahir batin, yang berdasarkan wahyu Tuhan.


Obyek kajian akhlak adalah mendorng untuk melekukan perubahan sifat hati (kodisi hati) yang kadang bisa baik bisa buruk yang di cerminkan dalam prilaku. Dan jika sifat hatinya baik maka yang muncul yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan jika hatinya busuk maka yang keluar dalam prilakunya adalah akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazumumah), maka manusia harus perlu membedakan mana yang buruk dan yang baik.

Ada 3 macam nafsu yang terdapat didalam diri manusia adalah sbb :
• Nafsu “ syahwaniyyah”, (nafsu ini ada pada manusia dan ada pula pada binatang) adalah nafsu yang cenderung kepada kelezatan semisalmakann, minuman, dan saywat jasmaniyyah seperti bersenagn-senang dengan perempuan. Dan jika nafsu ini tak dikendalikan maka manusia tak ada bedanya dengan binatang, dan silkap hidupnya menjadi hedonisme.
• Nafsu “al-ghadabiyyah”, (ada pada manusia dan binatang) yaitu nafsu yang cenderung kepada marah,merusak, ambisi dan senang menguasai dan mengalahkan yang lain. Dan juga nafsu ini lebih kuat ketimbang nafsu “syahwaniyyah”, dan lebih berbahaya bagi pemiliknya jika tak terkendalikan. Ia akn cenderung pemarah, sangat,”hiqdu (dengki), tergesa-gesa tidaktenang, serta cepat bertindak untuk menaklukkan mushnya tanpa pertimbngan matang dan rasional.
• Al-nafsu al-nathiqah, yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang lain (hewan yang lainnya). Dengan nafsu ini manusia mampu berzikir, mengambil hikmah, memahi fenomena alam, dan dengan nafsu ini juga manusia menjadi Agung, besar cita-citanya kagum pada dirinya sehingga bersyukur kepada tuhannya. Dan nafsu ini juga dapat menajdikan manusia untuk mebedakan baik- buruknya dan dengan nafsu ini juga manusia dapat mengendalikan keuda nafsu yakni “al-syawaniyya” dan al-gadhabiyyah”.

Moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya yaitu traidsi yang berlaku di suatu masyarakat. Dan seseorang dianggap bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang dianggap tidak bermoral jika hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang beralaku di masyarakat tersebut. Dan menurut ajaran islam, pada umumnya manusia adalah makhluk yang bermoral dan etis dan juga penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma.

Sedangkan perbadaan dan persamaannya adalah sama-sama pembahas tentang baik-buruknya segala apa yang ada, dan perbedaannya tidak terlalu membahas lebih rinci mengenai mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk tapi, hanya membaha mengenai nilai-nilai dan norma yang ada. Sebagai mana di dalam QS. Al-Ba qarah.’ 183

Artinya :
“Hai oarng-orang ynag beriman, di wajibkan puasa kepada kamu seperti halnya di wajibkan puasa kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi manusia taqwa” (QS. Al-Ba qarah.’ 183)


Makna taqwa adalah menjadikan kita untuk selalu mengingat kepada allah karna dengan mengingat dia hati kita akan selalu menjadi tenang dan merasa nyaman, baik dalam sedih maupun senang dan dapat memberikan pentunjuk kepada kita untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana hal yang buruk.

Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan yang Maha Esa (Allah) dengan mencucikan hati (tahfiat al-qalbi). Dan hati yang suci bukan hnya bisa dekat dengan tuhan malah dapat melihat tuhan (al-ma’ rfiih).

Ada 3 macam pengetahuan menurut Zun Nun al-Misri adalah sbb :
• Pengetahuan awan yaitu Tuhan satu dengan perantaraan ucapan kalimat sahadat
• Penegtahuan ulama yaitu Tuhan yaitu menurut logika akal.
• Pengetahuan kaum sufi yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari

Tujuan ahklak adalah aktualisasi ajran Islam itu sendiri. Dan dalam hal ini tidaklah cukup dengan iman seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuna. Yang “kaffa” adalah iman, dan amal, dan amal itulah yang di maksud tujuan ahklak.


Ruang lingkup ajaran ahklak adalah sbb :

• ahklak kita terhadap diri sendiri yaitu “al-taubah” (kembali kepada tuhan), “al-muraqabah” (kesadaran diri bahwa tuhan mengintai kita), al-muhasabah” (selalu intorpeksi terhadap diri sendiri), dan “al-mujahadah” (terus-menerus mendekati tuhan).
• Ahklak kita terhadap Allah SWT. Yaitu ahklak terhadap kalam Allah (al-kitab).
• Ahlak terhadap rasullulah dan
• Ahlak terhadap mahluk (sesame manusia) yaitu ahlak terhada terhadap kedua orang tua, ahlak etika terhadap sesame kerabat, etika terhadap tetangga, etika terhadapsesama muslim, etika kepada orang kafir (non muslim), etika terhadap binatang dan terakhir etika terhadap alam dalam arti luas.

Indikator manusia yang berahklak adalah manusia yang suci dan sehat artinya, sedangkan manusia yang tidak berahklak (moral) adalah manusia yang kotor dan sakit hatinya.namun seringkali manusia tidak sadar kalau hatinya sakit, kalaupun dia sadar dengan kesakitan hatinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik.

Sebab seseorang yang sakit secara fisik jika penyakitnya tidak dapat diobati dan di sembuhkan ujung-ujungnya hanya kematian. Dan kematian tersebut bukanlah akhir segala persolan melainkan pintu yang semua orang akan memasukinya, tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir dengan kecelakaan dialam keabadian.


Aktualisasi ahklak dalam kehidupa adalah bersifat universal dan komprehensif, mencangkup aspek-aspek lahir dan batin yaitu melalui ilmu dan amal “mujadah dan riyadah.” implementasi ahklak dan tasawuf, bahwa secara keilmuan tasawuf harus dibedahkan sehingga jelas substansi kajianya dan sekaligus posisinya dalam ajaran Islam. Cara lain yaitu keteladanan merupakan usaha yang sulit tetapi amat menentukan, memberikan motivasi memberikan hadiah atau sebaliknya menghukum secara psikologis yang tidak kalah pentingnya adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak.


Tasawuf adalah proses pendekatan diri pada tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati (tahfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan tuhan malah dapat melihat tuhan (Al-Ma’rif) dalam tasawuf disebutkan bahwa tuhan mahasucci tidak dapat didekati keculiati nati yang suci. Sedangkan alasan jikir adalah untuk menenangkan hati dari berbagai macam masalah atau cobaan dan juga untuk membukan pikiran kita menjadi kosong dan hanya berpikir pada tuhan (Allah) semata untuk mendapat petunjuk dan rahmatnya.

Langka lahir yang harus ditempu untuk membentuk anak yang baik adalah dengan cara yang tulus dan memberikan contoh yang baik dalam pengalan fisih dan tawasuf seakaligus memberikan teladan bagaimana sikap teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.


Adapun cara mengubah kebiasaan buruk menurt Ahmad Amin dan Al-Ghajali adalah mencapai ahklak yang baik.

Menurut Al-Ghajali meliputi tiga cara yaitu :
• Ahklak yang merupakan anugerah dan kasih sayang Allah yakni orang memiliki ahklak baik secara almiah (bi al-thabi ‘ah wa alfitrah), seabgai sesuatu yang di berikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan.
• Denagan “mujhahadah” (menahan diri) dan
• Dengan “riyadhah” melatih diri secara spriktual, dan bentuk riyadhah yang di sepakati para sufi, sebagaimanan telah dijelasakan antara lain ialah dengan zikir.

Sedangkan menurut Ahmad Amin meliputi delapan cara yaitu :
• Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya
• Mencari waktu baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk megujudkan niat dan tekat semula.
• Menghindarkan diri kepada segala hal yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang.
• Berusah untuk tetap berada dalam keadaan yang baik.
• Menghindarkan diri dari kebiasaan buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus.
• Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa yaitu kekuatan penolak terhadap perbuatan yang buruk yaitu perbuatan yang di pelihara dengan istiqamah, ihklas dan jiwa tenang.
• Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh itu besar sekali terhadap pembentukaan watak pribadi dan
• Menyebuhkan diri dengan pekerjaan yang bermanfat.

Ahklak pada lingkungan adalah dengan cara menghargai sesama, saling bersilaturahmi dan beristiqamah dengan sesama muslim dan juga agama lain. Maka akan terbentuklah rasa saling mennghargai dan menghormati satu sama lain.

Semestinya saya berahklak berati saya udah memilik sikap untuk menghormati arang lain atau sesama, sesuai dengan profesi yang saya miliki sekarang karna dengan berahklak berati kita udah mendapatkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Senin, 20 Juni 2011

Konseling Rational Emotif

Tokoh teori ini adalah Elbert Ellis, ia mendapat pendidikan dalam psikoanalisa tapi ia merasa kurang karena diaanggap ortodoks, yang kemudian mengembangkannya sendiri yang disebut terapi rasioal-memotfi.

1. Konsep Pokok
Ellis memandang bahwa manusia itu bersifat rasional dan irasional. Masalah – masalah emosional terletak dalam berfikir yang tidak logis. Dengan mengoptimalkan intelektualnya seseorang dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional.
Unsur pokok terapi rasional emotif adalah asumsi bahwa berfikir dan emosi bukan dari proses yang terpisah. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran – pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang yang penting dari teori rasional emotif adalah konsep banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada interanlisasi kalimat – kalimat yang menurut Ellis dikarenakan :
a. Terlalu bodoh untuk berfikir secara jelas.
b. Orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berfikir secara cerdas dan berfikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi.
c. Orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neuratik menggunakan kecerdasan dan pengetahuan secara memadai.
Hal yang irasional itu dipengaruhi dari orang tua dan lingkungan tersebut, namun berfikir logis menurut Ellis dapat dimanipulasi kearah berfikir yang rasional dan logis. Teori utama yang mengenai kepribadian dikemukakan oleh Albert Ellis dan para penganut Rational Emotive trapi adalah “Teori A-B-C-D-E-F” yang merupakan sentral dari teori dan praktek RET.


2. Proses Konseling
Tugas konselor adalah membantu individu yang tidak bahagia dan menghadapi ujian untuk menunjukan bahwa :
a. Kesulitan disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran – pikiran yang tidak logis.
b. Usahanya adalah harus kembali pada sebab – sebab permulaan. Konselor yang efektif akan membantu klien untuk mengubah pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak logis, kemudia membantu klien agar memperbaiki cara berfikir, merasa dan berperilaku, sehingga tidak lagi mengalami gangguan emosional dimasa mendatang.
3. Tujuan Konseling Rasional Emotif.
Tujuan utama konseling Rational Emotif adalah sebagai berikut :
a. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan – pandangan klien yang baik dan dapat mengembangkan dengan baik.
b. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri, dengan cara berusaha menghilangkan dengan melatih dan mengajarkan klien untuk dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan mengemabangkan kepercayaan, nilai – nailai dan kemampuan diri sendiri.
Trapi Rasional Emotif akan tercapai pribadi yang ditandai dengan :
1. Minat pada diri sendiri
2. Minat social
3. Pengarahan diri
4. Toleransi pada pihak lain
5. Deksibilitas
6. Menerima ketidakpastian
7. Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya
8. Berfikir ilmiah
9. Penerimaan diri
10. Berani mengambil resiko dan menerima kenyataan

Karakteristik terapi rasional emotif
a. Aktif- direktif
Bahwa dalam gubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalah.
b. Kognitif – eksperiensial
Hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
c. Emotif- eksperiensial
Harus melihar aspek emotif klien dengan mempelajari, membongkar keyakinan yang kliru yang mendasari ganguan klien.
d. Behavioristik
Hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadiya perubahan perilaku dalam diri klien.
e. Kondisinal
Hubungan terapi rasional emotif dilakukan dengan membuat kondisi – kondisi tertentu untuk mencapai tujuan konseling.
Albert Elis (1973) memberikan gambaran tentang apa yang dapat dilakukan oleh seorang praktisi rasional emotif yaitu :
a. Mengajak, mendorong klien untuk menanggalkan ide irasional yang mendasari gangguan emosional dan perilaku.
b. Menantang klien dengan berbagai ide yang valid dan rasional
c. Menggunakan analisis logis untuk mengurangi keyakinan irasional klien
d. Menunjukan azas ilogis dalam berfikir
e. Menunjukan keyakinan irasional akan senantiasa mengarakan klien pada gangguan behavioral dan emosional.
f. Menggunakan absurdity dan humor
g. Menjelaskan bagaimana ide – ide yang rasional
h. Mengajarkan klien untuk mengaplikasikan pendekatan – pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berfikir.

4. Teknik – teknik Terapi
Tekinik – teknik Emotif (efektif)
a. Teknik Assertive Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara tersu menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
b. Teknik Sosiodrama
Digunakan untuk mengekspresikan jenis perasaan yang menekan melalui suasana yang didramatisasikan.
c. Teknik “Self modeling”
Teknik yang digunkan untuk meminta klien agar tetap setia pada janjinya dan secara terus menerus menghindarkan dirinya dari perilaki negative.
d. Teknik Imitasi
Digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilaku sendiri yang negative.
Teknik – teknik Behavioristik
a. Teknik Reinforcement (penguatan)
Untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verval ataupun hukuman.
b. Tekinik Social Modeling
Digunakan untuk memberikan perilaku –perilaku baru pada klien
c. Teknik Live Models (model dari kehidupan nyata)
Digunakan untuk mengambarkan perilaku tertentu, terutama perilaku interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan social, interaksi dengan memecahkan masalah.

Teknik – teknik Kognitif
Teknik ini digunkan dengan maksud untuk mengubah system keyakinan klien serta perilaku – perilaku negative. Klien didorong dan dioptimalkan aspek kognitifnya agar fapat berfikir dengan rasional dan logis sehingga dapat bertindak sesuai dengan system nilai yang diharapkan dirinya serta lingkungannya.
Beberapa Teknik Kognitif yang cukup dikenal adalah
a. Home Work Assigments (Pemberian tugas rumah)
Klien diberi tugas rumah untuk membiasakan diri serta menginternalisasikan system nilai yang menuntut pola perilaku yang diharapkan, yang dapat diharapkan dapat mengurangi perasaan irasional dan ilogis dalam situasi tertentu. Pelaksanaan Home Work assignments yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka, yang dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap tanggung jawab, percaya diri serta mengurangi ketergantungannya terhadap konselor.
b. Teknik Assertive
Digunakan untuk melatih keberanian dalam mengekspresikan perilaku tertentu dengan bermain peran, latihan dan social modeling.
John L. Shelton (1977) mengemukakan maksud utama teknik ini yaitu
1. Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya.
2. Membangkitkan kemapuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya tanpa menolak hak asasi orang lain.
3. Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
4. Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.
Dalam proses konseling rasional emotif diharapkan menggunakan dan mengabungkan beberap teknik tertentu. Hanya Ellis menyarankan agar teknik Home Work Assigment perlu sebagai syarat utama untuk sesuatu konseling yang tuntas. Terapi rasional emotif dapat digunakan untuk membantu orang dalam menggurangi kecemasan dan permusuhan serta berguna untuk membatu individu mewujudkan diri individu.

Sabtu, 18 Juni 2011

Perkembangan Kepribadian

PENDAHULUAN


Pada hakekatnya manusia merupakan pribadi yang utuh dan memiliki sifat – sifat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, seseorang menyadari bahwa dalam kepentingan diri pribadi baik fisik maupun non fifik. Kebutuhan diri pribadi tersebut meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan sosiopsikologis. Dalam kebutuhan fisiknya, manusia memerlukan kekuatan dan daya tahan tubuh serta perlndungan dalam perkembangan dan pembentukan pribadi seseorang.
Kehidupan pribadi seseorang menyangkut berbagai aspek antara lain aspek emosional, sosial psikologis dan sosial budaya, dan kemampuan intelektual yang terpadu secara integrative dengan faktor lingkungan kehidupan. Pada awal kehidupannya dalam rangka menuju pola kehidupan pribadi yang lebih mantap. Setiap individu berupaya untuk sampai dengan mengatur dan memenuhi kebutuhan serta tugasnya sehari – hari.
Kehidupan pribadi seseorang individu merupakan kehidupan yang utuh dan lengkap dan memiliki ciri kekhususan. Oleh karenanya setiap pribadi akan dengan sendirinya menampakan ciri yang khas yang berbeda dengan pribadi yang lain. Disamping itu dalam kehidupan ini diperlukan keserasian anatara kebutuhan fisik dan non fisiknya. Setiap orang perlu bernafas dengan lega, serta makan enak dan cukup, perlu kenikmatan, dan perlu keamanan berkaitan dengan itu setiap pribadi membutuhkan kemampuan untuk menguasai sikap dan emosinya serta sarana komunikasi untuk bersosialisasi. Hal ini semua akan tampak secara utuh dan lengkap dalam bentuk perilaku dan perbuatan yang mantap. Dengan demikian, masalah kehidupan pribadi merupakan bentuk inttegrasi antara fisik, sosial budaya dan psikologis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kehidupan Pribadi Sebagai Individu
1. Faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi
Perkembanga pribadi menyangkut perkembangan berbagai aspek, yang akan ditunjukan dalam perilaku. Perilaku seseorang yang mengambarkan perpaduan berbagai aspek itu terbentuk di dalam lingkungan. Sebagaimana diketahui, lingkungan tempat anak berkembang sangat kompleks.
Seseorang individu, pertama tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga. Sesuai dengan tugas keluarga dalam melaksanakan misinya sebagai penyelenggara pendidikan yang bertanggung jawab, mengutamakan pembentukan pribadi anak. Dengan demikian, faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pribadi anak adalah kehidupan keluarga beserta berbagai aspeknya. Seperti telah diuraikan di bagian terdahulu, perkembangan anak yang menyangkut perkembangan psikofisis dipengaruhi oleh : status sosial ekonomi, filsafat hidup keluarga dan pola hidup keluarga seperti kedisplinan kepedulian terhadap kesehatan dan ketertiban termasuk ketertiban menjalankan ajaran agama.
Bahwa perkembangan kehidupan seseorang ditentukan pula oleh faktor keturunan dan lingkungan. Aliran Nativisme menyatakan bahwa seorang individu akan menjadi “orang” sebagaimana adanya yang telah ditentukan oleh kemampuan dan sifatnya yang dibawa sejak ia dilahirkan. Sedangkan aliran empirisme mengatakan sebaliknya bahwa seorang individu diibaratkan sebagai kertas/ lilin yang masih putih bersih. Ia akan menjadi “manusia” seperti yang dikehendaki oleh lingkungan. Kedua aliran itu mengambarkan bahwa faktor bakat dan pengaruh lingkungan sama – sama mepunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadinya. Pengaruh itu akan terpadu bersama – sama saling memberi andil “menjadikan manusia sebagai manusia”. Aliran yang mengakui bahwa kedua aliran itu secara terpadu memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang adalah aliran konvergensi. Proses pendidikan Indonesia menganur aliran ini, seperti dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

2. Perbedaan individu dalam perkembangan pribadi
Lingkunga kehidupan sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang amatlah kompleks dan heterogen. Baik lingkungan alami maupun lingkungan yang diciptakan untuk maksud pembentukan pribadi anak – anak dan remaja, masing – masing memiliki ciri yang berbeda – beda. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan pribadi setiap individu berbeda – beda pula sesuai dengan lingkungan dimana mereka dibesarkan.
Dua orang anak yang dibesarkan di dalam satu keluarga akan menunjukan sifat pribadi yang berbeda, karena hal itu ditentukan oleh sebagaimana mereka masing – masing berinteraksi dan mengintegrasikan dirinya dengan lingkungannya.

3. Pengaruh perkembangan kehidupan Pribadi terhadap tingkah laku
Kehidupan merupakan rangkaian yang berkesinambungan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Keadaan kehidupan sekarang dipengaruhi oleh keadaan sebelumnya, dan keadaan yang akan daang banyak ditentukan oleh keadaan kehidupan saat ini. Dengan demikian, tingkah laku seseorang juga dipengaruhi oleh hasil proses perkembangan kehidupan sebelumnya dan dalam perjalanannya berintegrasi dengan kejadian – kejadian saat sekarang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika sejak awal perkembangan kehidupan pribadi terbentuk secara terpadu dan harmonis, maka dapat diharapkan tingkah laku yang merupakan pengejawantahan berbagai aspek pribadi itu aka baik. Kehidupa pribadi yang mantap memungkinkan seorang anak akan berperilaku mantap, yaitu mampu menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan dengan pengembalian emosi secara matang, tertib, disiplin dan penuh tanggung jawab.

4. Upaya pengembangan kehidupan pribadi
Kehidupan pribadi yang merupakan ragkaian proses pertumbuhan dan perkembangan, perlu dipersiapkan dengan baik untuk itu p[erlu dilakukan pembiasaan dalam hal :
1) Hidup sehat dan teratur serta pemanfaatan waktu secara baik. Pengenalan dan pemahaman nilai dan moral yang berlaku di dalam kehidupan perlu ditanamkan secara benar.
2) Mengerjakan tugas dan perkembangan praktis sehari – hari secara mandiri dengan penuh tanggung jawab.
3) Hidup bermasyarakat dengan melakukan pergaulan dengan sesama, terutama dengan teman sebaya. Menunjukan gaya dan pola kehidupan yang baik sesuai dengan kultur yang baik dan dianut oleh masyarakat.
4) Cara – cara pemecahan masalah yang dihadapi. Menunjukan dan melatih cara merespon berbagai maslaah yang dihadapi.
5) Mengikuti aturan kehidupan keluarga dengan penuh tanggung jawab dan disiplin.
6) Melakukan peran dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga.
Didalam keluarga perlu dikembangkan dalam kehidupan berkeluarga dan keteladanan.
Disamping perlu diciptakan suasana keteladanan oleh pihak – pihak yang berwenang, seperti orang tua di dalam keluarga, guru di sekolah, dan tokoh masyarakat dalam kehidupan sosial. Dalam suasana ini yang perlu ditonjolkan antara lain adalah sifat sportif dan kejujuran, berjuang keras dengan berpengang pada prinsip yang maton (dapat dipercaya).

B. Macam Teori Tipologi Kepribadian Manusia
1. Teori Hippocrates – Gelenus
Teori ini menganggap bahwa didalam tubuh manusia terdapat empat unsur pokok, seperti pada alam semesta beserta isinya yaitu tanah, air, udara dan api, masing – masing mendukung sifat tertentu, yaitu tanah mendukung sifat kering, air mendukung sifat basah, udara mendukung sifat dingin dan api mendukung sifat panas, maka Hippocrates (460 – 370) berpendapat, bahwa juga di dalam tubuh manusia terdapat sifat – sifat tersebut yang didukung cairan – cairan yang ada di dalam tubuh yaitu :
 Sifat kering didukung oleh Cholc
 Sifat basah didukung oleh Melanchole
 Sifat dingin didukung oleh Phlegma
 Sifat panas didukung oleh Sanguis
Sifat kejiwaan yang khas itulah yang adanya tergantung kepada dominasi cairan dalam tubuh itu oleh Gelenus disebut temperamental.
2. Tipologi Mazhab Itali dan Mazhab Perancis
a. Tipologi Mazhab Itali
Berdaarkan atas data – data yang diperoleh oleh DeGiovani, serta hokum deformasi yang dirumuskan oleh DeGiovani, Viola dalam penyelidikan – penyelidikannya menemukan, bahwa ada tiga macam tipe manusia berdasarkan atas keadaan tubuhnya yaitu :
1. Microsplanchnis : ukuran – ukuran mendatarnya relative dominant, sehingga orangnya kelihatan tinggi jangkung.
2. Macrosplanchnis : ukuran – ukuran mendatarnya relative dominant, sehingga orangnya kelihatan pendek gemuk.
3. Normosplanchnis : ukuran – ukuran menegak dan mendatarnya seimbang, sehingga orang kelihatan seimbang. Bermacam – macam bentuk tubuh yang demkian itu beralas pada keturunan.
b. Tipologi Mazhab Perancis
Mazhab Perancis yang dipimpin oleh Sigaud berpendapat, bahwa keadaan serta bentuk tubuh manusia serta kelainan – kelainannya itu pada pokoknya ditentukan oleh sekitar atau lingkungan yaitu :
1) Ada lingkungan yang berwujud udara ynag menjadi sumber reaksi resporatoris
2) Ada sekitar yang berwujud makan – makanan yang menjadi sumber reaksi – reaksi digestif.
3) Ada lingkungan yang berwujud keadaan – keadaan alam yang menjadi sumber reaksi – reaksi Muskuler.
4) Ada lingkungan yang berwujud keadaan sosial yang menimbulkan reaksi – reaksi cerebral.
3. Tipologi Kretschmer
a. Tipe – tipe manusia menurut keadaan jasmaninya
Kretschmer menggolong – golongkan atas dasar bentuk tubuhnya menjadi empat :
1) Tipe piknis
Sifat – sifat khas tipe ini ialah:
 Badan agak pendek
 Dada membulat, perut besar, bahu tidak lebar
 Leher pendek dan kuat
 Lengan dan kaki lemah
 Kepala agak “merosot” ke muka diantara kedua bahu, sehingga bagian atas dari tulang punggung kelihatan sedikit melengkung.
 Banyak lemak, sehingga urat – urat dan tulang – tulang tak kelihatan nyata tipe ini memperoleh bentuknya yang nyata setelah orang berumur 40 tahun.
2) Tipe Leptosom
Orang yang bertipe leptosom ukuran – ukuran menegaknya lebih dari keadaan biasa, sehingga prangnya kelihatan tinggi jangkung, sifat – sifat khas tipe ini ialah :
 Badan langsing/ kurus, jangkung
 Perut kecil, bahu sempit
 Lengan dan kaki kurus
 Tengkorak agak kecil, tulang – tulang di bagian muka kelihatan jelas.
 Buka bulat telur
 Berat relative kurang.

3) Tipe Atletis
Pada orang yang bertipe atletis ukuran – ukuran tubuh yang menegak dan mendatar dalam perbandingan yang seimbang, sehingga tubuh kelihatan selaras, tipe mini dapat dipandang sebagai sintesis dari tipe piknis dan tipe leptoson. Sifat – sifat khas tipe ini ialah :
 Tulang – tulang serta otot dan kulit kuat
 Badan kokoh dan tegap
 Tinggi cukupan
 Bahu lebar dan kuat
 Perut kuat
 Panggul dan kaki kuat, dalam perbandingan dengan bahu dan kelihatan agak kecil
 Tengkorak cukup besar dan kuar, kepala dan leher tagak
 Muka bulat telur, lebih pendek dari tipe leptosom
4) Tipe Displastis
Tipe ini merupakan penyimpangan dari ketiga tipe yang telah dikemukakan itu, karena tidak memiliki ciri – ciri yang kas menurut tipe – tipe tersebut. Bermacam – macam bagian yang seolah – olah bertentangan sau sama lain ada bersama – sama. Kretschmer sendiri menganggap tipe displastis ini menyimpang dari konstitusi normal.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa perkembangan kehidupan seseorang ditentukan pula oleh faktor keturunan dan lingkungan. bahwa didalam tubuh manusia terdapat empat unsur pokok, seperti pada alam semesta beserta isinya yaitu tanah, air, udara dan api, masing – masing mendukung sifat tertentu, yaitu tanah mendukung sifat kering, air mendukung sifat basah, udara mendukung sifat dingin dan api mendukung sifat panas, maka Hippocrates (460 – 370) berpendapat, bahwa juga di dalam tubuh manusia terdapat sifat – sifat tersebut yang didukung cairan – cairan yang ada di dalam tubuh yaitu :
 Sifat kering didukung oleh Cholc
 Sifat basah didukung oleh Melanchole
 Sifat dingin didukung oleh Phlegma
 Sifat panas didukung oleh Sanguis
Sifat kejiwaan yang khas itulah yang adanya tergantung kepada dominasi cairan dalam tubuh itu oleh Gelenus disebut temperamental.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika sejak awal perkembangan kehidupan pribadi terbentuk secara terpadu dan harmonis, maka dapat diharapkan tingkah laku yang merupakan pengejawantahan berbagai aspek pribadi itu akan baik.
B. Kritik dan Saran
Kami sadar dalam penulisan masih banyak kekurang, maka bagi pembaca mohon kritik dan sarannya agar dapat menyerpurnakan serta menambah wawasan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Adler, A. Understanding Human Nature (Terj. Berram Walfe) New York : Permabook – Greenberg, 1949
Dra. Hj. Siti Hartinah D.S., M.M. (2008). Pengembangan Peserta Didik. PT. Rafika Aditama.
Roback, A.A. The Psychology Of Character. London : Routledge Dan kegan Paul, 1952
Sheldon, W.H. The Varieties Of Temperament : a Pschology Of Constutional Difference, E. Lebensformen. Leipzig: 1925.

PISIOLOGI BELAJAR

A. DEFINISI DAN CONTOH BELAJAR
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam setiap penyelenggaraan dan jenjang dan jenis pendidikan.
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi / materi pelajaran.
Ada beberapa pendapat dari para ahli psikolog pendidikan
1. Skinner, dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Education Psychology The Teaching – Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian
Skinner percaya adaptasi akan berhasil apabila diberi penguatan (reinforcer)
2. Chaplin dalam Dictionary of Psycology belajar adalah perubahan perolehan tingkah laku yang relatif menatap sebagai akibat pelatihan dan pengalaman.
3. Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisasi, manusia dan hewan yang disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme.
4. Wittring dalam bukunya Psychology of Learning. Belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman dan lain-lainnya.

B. ARTI PENTING BELAJAR
Belajar adalah Key Tern (istilah kunci) yang paling vital dalam setia usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sehubungan dengan ini seorang siswa yang sedang belajar idealnya ditandai dengan munculnya pengalaman-pegalaman psychology baru yang positif yag bersifat kejiwaan yag dapat mengembangkan aeka ragam sifat, sikap da kecakapan yang kontruktif. Maka dari itu guru juga dapat diharapkan dalam keadaan siap da memiliki (berkemampua tiggi) dalam menuaikan kewajibanya sehigga tercipta sumber daya yang berkualitas.

C. PERSFEKTIF PSIKOLOGI
Menurut Bruno (1981), memori ialah proses mental yang meliputi pengkodean, penympanan, dan penggilan kembali informasi dan pengetahua.
Menurut Best (1987), setiap informasi yang kita terima sebelum masuk diproses oleh subsistem akal pendek (short term-memory). Dengan demikian, struktur sistem akal manusia terdiri atas tiga subsistem, yakni, Sensory register, Short term memory, dan Long term memory.
Memory dalam hal ini lazim juga disebut “stronge” atau tempat penyimpanan informasi.
Selanjutnya, ditinjau dari sudut jenis informasi dan pengetahuan yang disimpan, memory manusia terdiri atas dua macam :
1. Semantic memory (memory semantic) yaitu memori yang khusus yang menyimpan arti dan pengertian-pengertian.
2. Episodic memory (memory episodic) yaitu memory khusus yang menyimpan informasi-informasi tentang peristiwa-peristiwa. Menurut Reber (1988) dalam memory simantik, iformasi yang diterima ditransformasikan da diberi kode arti.

D. TEORI-TEORI POKOK BELAJAR
Beberapa ahli mengadakan eksperimen untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti : Coutigous Conditioning ( Guther ), Sign Leaning (Tolman), Gestalt Theory dan lain sebagainya.
1. Koneksionalisme
Adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L-Thorndike (1974/1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890 an dengan menggunakan hewan kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
­ Eksperimen puzzel box yang terkenal dengan nama instrumental conditioning mempelajari bahwa tingkah laku berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978). Berdasarkan teori diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon.
2. Pembiasaa Klasik
Teori pembiasaan klasik ( classical coditioning ) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Wan Pavlov (1949-1936) bahwa dasarya classical coditioning adalan sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Dalam eksperimen Pualov menggunakan anjing untuk mengetahui rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang tidak dipelajari. Anjing merespon dengan mengeluarkan air liurnya, dengan adanya sebuah rangsangan.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan dan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Di antara kelemahan-kelamahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak disaksikan dari luar kecuali sebagai gejalanya.
b. Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif dan karenanya ia bisa menolak merespon jika ia tidak menghendaki, misalnya karenanya lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.

3. Teori Pendekatan Kognitif
Sementara itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori oleh William James (182 – 1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen Pavlov, Thorndike, dan Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran behaviorisme di bawah kepemimpinan Jhon Broadus Watson (1878-1958). Aliran behaviorisme yang terkenal radikal dan menantang itu kini sedang mengalami keruntuhannya. Karena kini semakin banyak pakar psikologi kelas dunia yang merasa tidak puas terhadap teori-teori behavioristik, apalagi setelah dibandingkan dengan hasil-hasil riset para pakar psikologi (Reber, 1988).
Diantara keyakinan principal yang terdaopat dalam teori behavioristik ialah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, warisan abstrak-lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pinter, trampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu dididik.

E. PROSES DAN FASE BELAJAR
1. Definisi Proses Belajar
Proses berasal dari bahasa latin “Processus” yang berarti berjalan ke depan. Menurut Choplin (1972) proses adalah suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan
Dalam psikologi belajar proses adalah cara-cara atau langkah-langkah khusus dengan beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988). Jadi proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, efektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi kearah yang lebih maju daripada keadaan-keadaan sebelumnya.

Lingkungan Belajar
Lingkungan merupakan criteria yang mendasar alam pendidikan formal. Goodman merekomendasikan bahwa bimbingan orang dewasa merupakan aspek penting dalam pendidikan.
Bruner menekankan bahwa hubungan anak dengan orang dewasa merupakan stimulus (perangsang) mempermudah belajar.
Colomen tentang pengaruh teman sebaya.
Rogres tentang kesehatan
Kerch tentang bahasa dan komunikas, oleh karena itu faktor guru dan orang tua yang membentuk lingkungan manusia ( human behaviroment ) di sekolah.
Kegiatan Belajar
Keterampilan SeusDrimotor
Belajar adalah sensorimotor, tindakan yang bersifat otomatis sehingga kegiatan-kegiatan yang telah dipelajari dapat dilaksanakan secara stimulant tanpa saling mennganggu.
a. Belajar Asosiasi
Belajar asosiasi akan dipengaruhi atau dipermudah dengan mengadakan klasifikasi, menghubungkan yang baru dengan yang sudah diketahui, mengadakan peninjauan kembali dengan asosiasi baru.
b. Belajar Konseptual
Belajar Konseptual adalah gambaran mental secara umum dan abstrak tentang situasi dan kondisi. Contoh demokrasi seperti pemufakatan bersama, kerjasama secara sukarela dalam kebenaran dan kebebasan dalam aspek-aspek konsep demokrasi.
Teori Belajar
­ Conditioning
Smiple conditioning atau teori Contiguty bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respon. Contoh drill, paktek, pengulangan dan kejadian.
­ Connectionosm
Stiumul atau respons atau teori reinforcement yang dijelaskan oleh E.L Thorndike menekankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan-hubungan antara stimulus respon yang terbentuk melalui pengulangan.
­ Field theory
Field theory yang terkemuka adalah teori Gestalt. Teori Gestalt sangat menekankan pada insight yang kadang-kadang dirumuskan sebagai persepsi yang tiba-tiba terhadap hubungan-hubungan keseluruhan situasi.
­ Psikologi Fenomenologis dan Humanitis
Psi fenomenologis dan humanistis menaruh perhatian besar terhadap kondisi-kondisi di dalam diri individu, yaitu psy chological state siswa.
Menurut Combs dan Suygg, psikologi fenomologis merupakan pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada persepsi-persepsi pribadi yang unik.
­ Teori belajar dalam situasi sekolah
Hillgard mengelempokan teori belajar dalam dua hal utama. (1) Teori-teori Asosiasi dan (2) Teori Lapangan (fied).


Balajar dan Mengajar Perilaku

Belajar dan mengajarkan Pengetahuan
Pengertian Konsep:
Konsep adalah kelas atau kategori yang memiliki ciri-ciri umum. Stimulus adalah obyek, peristiwa atau orang (person).
Ciri konsep
1. Adanya atribut yang berbeda
2. Bakat (Aptitude)
3. Keadaan jasmani (physical fitness)
4. Penyesuaian social emosional
5. Latar belakang keluarga
6. Prestasi belajar
7. Anak-anak yang mengalami kesulitan
Konsep dan motivasi belajar.


Psi Belajar dan Mengajar
Bab 4. Hakekat dan Teori Belajar
­ Hakekat Proses Belajar
Belajar meliputi beberapa aspek seperti penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian social dan keterampilan dan cita-cita.
Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk perbaikan perilaku, misal perumusan dibutuhkan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap tetapi perubahanpun tidak mesti menghasilkan perubahan dilihat dari segi social.
Hilgrad dan Broweq mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktifitas, praktek dan pengalaman.
Pada belajarpun aspek pisik tidak boleh diabaikan oleh guru yang mempengaruhi pada kesenangan dan kepuasan yang diperoleh individu dari perbuatan belajar. Pengaruh belajar banyak dipengaruhi oleh orientasi kepribadian yang menjadikan senangdan tidaknya dalam proses belajar mengajar.

Respon Siswa
Akreditasi dan lingkungan hanya merupakan dua segi utama dan proses belajar. Para siswa memberikan respon dari berbagai rangsangan dan berbagai kekuatan. Pada anak mungkin memandang bahwa keberhasilan dalam bidang akademis menjadikan dia berprestasi atau kepemimpinan, anak lain memandang sukses akademis sebagai tunduk pada figur penguasa yang ditentangnya. Maka dari itu mengajar yang efektif secara kultural berbeda, harus meliputi keterampilan untuk melihat orang-orang dari segi pandangan anak.
Lingkungan Belajar
Lingkungan merupakan kriteria yang mendasar dalam pendidikan formal. Goodman merekomendasikan bahwa bimbingan orang dewasa merupaka aspek penting dalam pendidikan.
Bruner menekankan bahwa hubugan anak dengan orang dewasa merupakan stimulus (perangsang) mempermudah belajar.
Colomen tentang pengaruh teman sebaya.
Rogres tentang kesehatan
Krech tentang bahasa dan komunikasi, oleh karena itu faktor guru dan orang tua yang membentuk lingkungan manusia (Human Behaviroment) di sekolah.
Kegiatan Belajar
Keterampilan SeusDrimotor
Belajar adalah sensorimotor, tindakan yang bersifat otomatis sehingga kegiatan-kegiatan yang telah dipelajari dapat dilaksanakan secara stimulant tanpa saling mengganggu.
a. Belajar Asosiasi
Belajar asosiasi akan dipengaruhi atau dipermudah dengan mengadakan klasifikasi, menghubungkan yang baru dengan yang sudah diketahui, mengadakan peninjauan kembali dengan asosiasi baru.
b. Belajar Konseptual
Belajar konseptual adalah gambaran mental secara umum dan abstrak tentang situasi dan kondisi. Contoh demokrasi seperti pemufakatan bersama, kerjasama secara sukarela dalam kebenaran dan kebebasan dalam mengembangkan individu dalam aspek-aspek konsep demokrasi.
Teori belajar
­ Conditioning
Smiple conditioning atau teori Contiguty bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respon. Contoh drill, paktek, pengulangan dan kejadian.
­ Connectionosm
Stiumul atau respons atau teori reinforcement yang dijelaskan oleh E.L Thorndike menekankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan-hubungan antara stimulus respon yang terbentuk melalui pengulangan.
­ Field theory
Field theory yang terkemuka adalah teori Gestalt. Teori Gestalt sangat menekankan pada insight yang kadang-kadang dirumuskan sebagai persepsi yang tiba-tiba terhadap hubungan-hubungan keseluruhan situasi.
­ Psikologi Fenomenologis dan Humanitis
Psi fenomenologis dan humanistis menaruh perhatian besar terhadap kondisi-kondisi di dalam diri individu, yaitu psy chological state siswa.
Menurut Combs dan Suygg, psikologi fenomologis merupakan pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada persepsi-persepsi pribadi yang unik.
­ Teori belajar dalam situasi sekolah
Hillgard mengelempokan teori belajar dalam dua hal utama. (1) Teori-teori Asosiasi dan (2) Teori Lapangan (fied).

Balajar dan Mengajar Perilaku

Belajar dan mengajarkan Pengetahuan
Pengertian Konsep:
Konsep adalah kelas atau kategori yang memiliki ciri-ciri umum. Stimulus adalah obyek, peristiwa atau orang (person).
Ciri konsep
1. Adanya atribut yang berbeda
2. Semakin kompelk konsep semakin sulit mempelajarinya
3. Jika atribut nyata lebioh midah menguasai konsep,dan jika atribut tidak nyata sulit menguasai konsep.

Jenis Konsep
­ Konsep Konjunigtif nilai tertentu disajikan bersama-sama
­ Konsep disjinigtif sesuatu yang dapat dirumuskan dengan sejumlah cara yang berbeda-beda
­ Konsep hubungan konsep yang mempunyai hubungan-hubungan kusus diantara atribut-atribut

Keguanaan Konsep
1. Konsep mengurangi kerumitan lingkungan
2. Konsep membantu di dalam mengidentifikasikan yang ada disekitar kita
3. Konsep membantu mempelajari sesuatu yang baru
4. Konsep mengarahkan kegiatan instrumental
5. Konsep memungkinkan pelaksanaan pengajaran
6. Konsep dapat digunakan untuk mempelajari dua hal yang berbeda dalam kelas yang sama.

Kondisi Belajar
Kondisi belajar penting untuk mempelajari keterampilan ada 3 kondisi pokok:
1. Contiguty adalah kejadian yang hampir simultan tentang stimulus dan respon
2. Latihan (Pratice) adalah kondisi eksternal yaitu pengulangan suatu respon
3. Balikan menitikberatkan aspek informasional yakni pengetahuan tentang hasil.

Pengalaman Balajar
Pengajar kelompok Wibert Y Mc Keachi
Pengajar individu banyak variasi dan varibitasnya. Perlu diperhatikan dalam pengajaran dan belajar individual antara lain :

Lima tingkat profesionalisme konselor

1. Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu pembelajaran yang diselenggarakan guru dengan menggunakan cara-cara yang menurut pengalaman guru pada waktu terdahulu dianggap memberikan hasil yang optimal, meskipun cara-cara tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada teori tertentu.
2. Tingkat pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik pembelajaran yang dilakukan guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori tertentu, namun pendekatan tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan proses pembelajaran siswa.
3. Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik, pembelajaran yang diselenggarakan guru telah menggunakan sejumlah pendekatan pembelajaran, namun penggunaan pendekatan tersebut bercampur aduk tanpa sistematika ataupun pertimbangan yang matang. Pendekatan-pendekatan tersebut sekedar dicomot dan diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tanpa memperhatikan relevansi dan ketepatannya.
4. Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektik, guru telah memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai pendekatan pembelajaran dengan berbagai teknologinya, dan berusaha memilih serta menerapkan sebagian atau satu kesatuan pendekatan beserta teknologinya sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan tersebut tidak dicampur aduk, namun dipilah-pilah, masing-masing diplih secara cermat untuk kepentingan pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran eklektif tidak mengangungkan atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran tertentu sebagai dogma. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektif, guru mengetahui kapan menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu.
5. Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi mempunyai ciri-ciri :
(a) Penguasaan yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan pembelajaran beserta teknologinya.
(b) Kemampuan memilih dan menerapkan secara tepat pendekatan berserta teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa.
(c) Pemberian warna pribadi yang khas sehingga tercipta praktik pembelajaran yang benar-benar ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
Pengembangan Model Konseling Berfokus Konflik Resolusi Antar Teman Sebaya di Kalangan Remaja
Posted on 6 Maret 2010 by TRIYONO


Oleh: Latipun
Ketua ABKIN Cabang Kabupaten Malang/
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
(email: lativ_un1@yahoo.com)
ABSTRAK
Konflik antar teman sebaya di kalangan remaja banyak kita jumpai terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan konflik yang efektif perlu dikembangkan suatu model konseling yang sesuai untuk kasus tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) yang memiliki validitas, kepraktisan dan keefektifan dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja. Pendekatan penelitian adalah penelitian pengembangan. Subjek sebanyak 105 individu (90 siswa, 3 konselor dan 4 dosen) di Malang (Jawa Timur) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Data kuantitatif diperoleh dengan skala sedangkan data kualitatif dikumpulkan dengan observasi partisipasi dan wawancara. Analisis data kualitatif dilakukan analisis triangulasi dan analisis data kuantitatif dilakukan dengan uji-t. Konseling RKS yang dikembangkan terdiri dari: latar belakang, pendekatan dan teori pndukung, ruang lingkup, prosedur, dan keefektifan dan cara penilaian. Hasil penelitian mempunyai bukti yang cukup bahwa Konseling RKS adalah model yang valid dan praktis dan dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Konseling RKS juga efektif dalam meningkatkan perilaku anti kekerasan dan permusuhan, meningkatkan penggunaan strategi penyelesaian konflik yang damai dan membangun perdamaian.
Kata kunci: konseling, resolusi konflik, remaja, pengembangan model, perilaku damai, anti kekerasan.

1. PENDAHULUAN
1.1 Permasalahan
Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia (Bertrand 2005; Colombijn & Lindblad 2002), misalnya ‘tindak main hakim sendiri’ (Colombijn & Lindblad 2002), konflik antara suku dan etnik (Ratnawati 2006; Habib 2004), perkelahian antara kampung dan geng (Gani 2000), dan budaya kekerasan dalam rumah tangga. Konflik seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak berkonflik yang disertai tindakan agresif (Ariyanto 1992).
DeCecco dan Richards telah mengkaji penggunaan tindak kekerasan oleh remaja dalam menyelesaikan konflik di Amerika Serikat (Johnson, Johnson, Dudley & Acikgos 1994). Menurutnya sebanyak 90% konflik yang dialami remaja tidak terselesaikan, dan 25% remaja menyelesaikannya dengan cara paksaan, kekerasan, atau perkelahian. Persentase penggunaan kekerasan oleh remaja di Indonesia tidak sebesar hasil penelitian di Amerika tersebut. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Aryanto (1992), remaja di Jakarta yang melakukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalahnya sekitar 3.8%.
Hasil penelitian pendahuluan[1] di Malang, Indonesia, menunjukkan prevalensi remaja yang mengalami konflik dengan teman sebaya sebanyak 21%, dan sebanyak 81% dari 141 remaja yang menjadi sampel menyatakan pernah mengalami perselisihan dan konflik dengan teman sebaya di sekolah. Sedangkan jumlah konflik yang dialami pelajar dalam waktu dua tahun sebanyak 59% mengalami 1-2 kali konflik sahaja, 11% mengalami 3-4 kali konflik, dan 29% mengalami 5 kali konflik atau lebih.
Untuk menciptakan kondisi damai di sekolah, konflik antar pelajar perlu ditangani yang lebih serius. Banyak sekolah melakukan pengendalian terhadap perilaku pelajar secara ketat (Matindas 1996; Page & Hammermeister 1997) tetapi apa pula yang mengembangkan pendekatan edukatif. Terdapat tiga pendekatan edukatif yang umum diterapkan di sekolah untuk mengatasi konflik di kalangan pelajar, iaitu: (1) pendidikan damai yang dintegrasikan dengan kurikulum sekolah, (2) latihan penyelesaian konflik secara konstruktif, dan (3) mediasi dan negosiasi oleh teman sebaya (Gerstein & Moeschberger 2003; Newman, Murray & Lussier 2001; Johnson & Johnson 1994; Deutsch, 1993). Berdasarkan berbagai penelitian, model penyelesaian konflik tersebut adalah efektif, di antaranya dapat meningkatkan pengetahuan pelajar dalam menyelesaikan konflik secara konstruktif, lebih bersikap prososial, dan dapat menghindari sebagai korban dari tindak kekerasan (Johnson & Johnson 1995; Laursen, Finkelstein, & Betts 2001; Zhang 1994).
Namun demikian, menurut Theberge & Karan (2004) program penyelesaian konflik yang diajarkan di sekolah tidak banyak dipraktikkan oleh siswa. Menurutnya, hanya 8% pelajar yang mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hambatan dalam mengaplikasikan program tersebut adalah remaja kurang percaya kepada kemampuan temannya dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian, untuk penyelesaian konflik antar teman sebaya diperlukan model yang lebih diterima oleh remaja, mudah diterapkan, dan efektif bagi penyelesaian konfliknya (den van Akker 1999; Nieveen 1999).
Pada dasarnya, remaja yang mengalami konflik perlu ditolong dengan metode yang sesuai sehingga mereka dapat menyelesaikannya secara tepat, iaitu menyelesaikannya secara konstruktif dan dapat menyelesaikan masalah psikologis yang menyertainya. Sebagaimana yang diharapkan oleh sebahagian besar pimpinan sekolah (97%) bahwa penyelesaian konflik antar teman sebaya dapat dilakukan melalui konseling sehingga lebih efektif dalam mencegah terjadinya peningkatan konflik, peningkatan rasa damai di sekolah, serta penyelesaian konflik secara lebih cepat (Latipun 2005).
Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan konseling untuk menangani konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Sebanyak 80% pimpinan sekolah di Indonesia memandang konselor sekolah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas semua permasalahan sosial dan psikologis yang dialami oleh pelajar. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting bagi konselor untuk memiliki panduan dalam menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan pelajar.
Berdasarkan kepada uraikan di atas, permasalahan penelitian adalah (1) bagaimanakah model konseling yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus konflik antar teman sebaya di kalangan remaja? (2) adakah konseling yang berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) efektif dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja?

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengembangkan model konseling berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) di kalangan remaja. Secara lebih khusus, tujuannya adalah: (1) mengembangkan model Konseling RKS yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja dan (2) menguji efektivitas Konseling RKS dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja.
2. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pengembangan (Borg & Gall 1983; Richey, Klein, & Nelson 2004), iaitu penelitian bagi mengembangkan suatu produk atau model (Bagdonis & Salisbury 1994; Borg & Gall 1983; Richey, Klein & Nelson 2004; Marxt & Hacklin 2005). Model yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah konseling yang berfokus resolusi konflik antara teman sebaya di kalangan remaja.
Berdasarkan pandangan banyak ahli (Marxt & Hacklin 2005; Richey et al. 2004; van den Akker 1999; Valcke, Kirschner & Bos 1999) penelitian pengembangan model dapat disederhanakan menjadi tiga tahap iaitu konseptualisasi prototipe, penyusunan model, dan pengujian model. Dengan tahapan tersesebut, model yang dikembangkan diharapkan menjadi model yang validitas, praktis dan efektif.
4. PENELITIAN I: KONSEPTUALISASI PROTOTIPE
Berdasarkan penelitian terdahulu dan diskusi terbatas dengan berbagai sumber dibuat draft awal dan seterusnya dikembangkan menjadi prototipe Konseling RKS, yang disebut sebagai prototipe I. prototipe merupakan versi awal dari suatu produk, yang belum lengkap, belum dapat dipakai secara sempurna dan perlu diperbaiki untuk menghasilkan produk akhir (Moonen 1999).
Untuk penyusunan prototipe yang lebih baik, draft yang telah disusun perlu memperoleh kritik dan saran dari ahli konseling dan konselor. Kritik dan saran tersebut dijadikan dasar untuk memperbaiki prototipe. Beberapa bahagian dari draftawal direvisi dan dibaiki berdasarkan masukan dari mereka.
Sebanyak 11 orang yang dapat memberikan kritik dan saran tehadap draft Konseling RKS iaitu konselor sekolah (tiga orang), ahli dan dosen psikologi dan konseling (enam orang), serta ahli konflik dan pendidikan damai (dua orang). Hasil revisi terhadap draft prototipe Konseling RKS disebut sebagai Prototipe I. Penyusunan Prototaip I pada dasarnya adalah pra-penelitian dalam penelitian pengembangan. Hasil penyusunan prottotipe ini masih perlu kajian selanjutnya untuk menghasilkan model yang diharapkan.
Prototipe Konseling RKS mengandung pokok pikiran: (1) latar belakang pengembangan model konseling, (2) nama model yang dikembangkan, (3) pendekatan pengembangan model, (4) teori pendukung Konseling RKS, (5) ruang lingkup model Konseling RKS, (6) prosedur Konseling RKS, dan (7) efektivitas konseling dan cara penilaian.
5. PENELITIAN II: PENGEMBANGAN MODEL
Prototaip yang tersusun selanjutnya dilakukan pengujian dari segi validitas dan kepraktisannya. Pengujian tersebut dapat disebut pula sebagai penelitian formatif sebagai usaha pengembangan model Konseling RKS. Secara bertahap prosedur dan hasil penelitian formatif ini akan dijelaskan berikut ini.
1. Pengujian Validitas Model
Partisipan. Prototipe yang dikembangkan sebagai model harus memenuhi persyaratan sebagai model yang valid. Dalam penelitian ini pengujian validitas dilakukan dengan meminta penilaian mengenai aspek-aspek konseling yang disusun kepada pihak yang ahli dan konselor. Sebanyak 4 dosen dan 3 konselor terlibat dalam penelitian, yang dipilih dengan teknik snowball sampling.
Analisis Data. Penilaian ada dua jenis, yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif. Penilaian yang bersifat kualitatif dianalisis secara kuatitatif yaitu teknik triangulasi, dan penilaian kuantitatif dianalisis secara kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menelaah semua kritikan dan saran dari penilai. Semua saran dan kritikan ditulis, dianalisis dan diperbandingkan dengan orientasi teori yang digunakan. Kritikan dan saran yang sesuai dengan teori dan maksud penyusunan model dapat diterima dan secara langsung dijadikan dasar merevisi prototipe, sedangkan kritik dan saran yang tidak sesuai dengan teori dan maksud penyusunan model tidak dijadikan dasar perbaikan prototipe (Druckman 2005; Bagdonis & Salisbury 2004).
Penilaian terhadap prototipe mengacu pada 43 pertanyaan yang disediakan yang terkait dengan model yang disusun. Setiap pertanyaan diberi skor 1-5. Skor satu menunjukkan bahwa aspek/item tersebut kurang valid untuk pengembangan model, sedangkan skor 5 menunjukan bahwa aspek/item tersebut adalah sangat valid sebagai Konseling RKS. Analisis kuantitatif (analisis validitas) dilakukan terhadap skor penilaian oleh penilai sebagaimana dikemukakan oleh Aiken (1980).
Hasil Analisis. Menurut Aiken (1980), suatu item dapat dinyatakan valid jika memperoleh nilai koefisien validitas item minimal pada V = .75, k = .030 untuk skala yang peringkat penilaiannya adalah 5 dan penilai sebanyak tujuh orang. Implikasi dari pengujian validitas tersebut aspek-aspek yang valid dipertahankan sebagai aspek dari Konseling RKS, sedangkan aspek yang tidak valid dilakukan revisi dan selanjutnya meminta kepada penilai untuk memberikan penilaian lagi. Revisi terus dilakukan sehingga aspek tersebut menjadi valid secara statistik.
Berdasarkan penilaian tersebut, semua item yang dinilai memiliki validitas sebagai Konseling RKS dengan nilai koefisien validitas V = .75 – 1.00. Latar belakang pengembangan model memperoleh V= .86, pendekatan pengembangan model dan teori pendukung memperoleh V= .79 – 1.00, ruang lingkup model memperoleh nilai koefisien .75 – .96, prosedur konseling memperoleh V= .79 – .96 dan keefektivan konseling dan cara penilaian memperoleh V= .75 – .96. Secara keseluruhan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Konseling RKS adalah valid secara isi. Konseling RKS yang memiliki validitas tersebut menjadi Prototipe II.
2. Pengujian Kepraktisan Model
Seperti yang diuraikan di atas, prototipe II merupakan prototipe yang valid. Namun demikian, prototipe tersebut perlu diketahui apakah prototipe tersebut dapat diterapkan untuk kasus yang sebenarnya (Akker 1999; Nieveen 1999). Oleh karena itu, prototipe tersebut harus diteliti secara kepraktisannya kepada kasus yang sesungguhnya. Penelitian penilaian dilakukan untuk memperoleh model yang lebih mudah diterapkan dalam menyelesaikan konflik antar teman sebaya.
Partisipan. Pada tahap pengujian kepraktisan model, sebanyak 10 orang siswa yang partisipasi. Mereka adalah siswa SMA/SMK di Malang. Mereka dipilih secara pouposif sampling, yaitu siswa dengan ciri-ciri: (a) berumur 16-19 tahun, (2) sedang mengalami konflik dengan remaja yang lain dan (c) konflik telah terjadi sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan belum selesai.
Metode. Pengujian kepraktisan model Konseling RKS dilakukan dua tahap. Pertama, penelitian terhadap empat subjek (dua kasus konflik), yang bertujuan untuk mengetahui apakah model yang dirumuskan dapat diaplikasikan dengan mudah untuk kasus yang diteliti. Konseling RKS dilakukan dalam 8 sesi, dengan waktu 75 menit per sesi. Subjek adalah sepasang lelaki dan sepasang perempuan. Tahap kedua, penelitian dilakukan kepada enam pelajar (tiga kasus konflik), sebagai kelanjutan dari penelitian tahap pertama. Penelitian tahap kedua dilakukan berdasarkan prosedur Konseling RKS yang telah direvisi berdasarkan penelitian tahap yang pertama.
Analisis Data. Analisis kepraktisan merupakan analisis yang dilakukan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah prototipe yang disusun dapat diaplikasikan dalam kasus yang sebenarnya? Analisis dilakukan terhadap hasil observasi partisipasi dan wawancara dengan klien mengenai pelaksanaan Konseling RKS dalam menyelesaikan kasusnya.
Data yang diperolehnya ditulis, direduksi dan dianalisis. Dari analisis tersebut diklasifikasikan adanya data yang dapat meningkatkan fungsi kepraktisan dan data yang tidak dapat meningkatkan kepraktisan. Data yang dapat meningkatkan kepraktisan dijadikan dasar revisi prototipe menjadi model, sedangkan data tersebut tidak dapat meningkatkan kepraktisan akan diabaikan. Analisis terhadap proses pengujian formatif dilakukan secara kualitatif.
Hasil Penelitian. Hasil penelitian terhadap kasus konflik antar teman sebaya di kalangan pelajar sekolah menengah diperoleh hasil sebagai berikut.
(1) Konseling RKS untuk mnyelesaikan konflik antar teman sebaya untuk kasus yang menengah dapat dilakukan sebayak 6 sesi, dimulai dari sesi pendahuluan hingga sesi penutup. Delapan sesi seperti rencanakan pada prototipe I adalah waktu yang terlalu lama bagi klien dan membosankan bagi mereka dalam menyelesaikan masalahnya.
(2) Pada sesi awal konselor dapat menjalankan Konseling RKS dengan lebih aktif untuk membangun hubungan baik antara klien dan konselor (rapport). Keadaan terapeutik perlu diciptakan oleh konselor dimulai dari sesi awal konseling
(3) Pada sesi awal, sebagian besar klien berperasaan enggan untuk dipertemukan dengan lawan konfliknya. Mempersiapkan kondisi psikologis klien dalam menghadapi negosiasi merupakan perkara yang sangat penting. Tahap pendahuluan yang berfungsi sebagai tahap mempersiapkan klien memasuki tahap negosiasi dapat dilakukan dua kali sesi, hingga klien benar-benar sedia untuk menjalankan negosiasi secara konstruktif.
(4) Klien yang belum sanggup mengikuti Konseling RKS hingga akhir sesi kedua pada dasarnya dapat dilanjutkan dengan intervensi individu sehingga sedia untuk memasuki sesi negosiasi secara langsung dengan pihak lawan konflik.
(5) Bagi memudahkan proses konseling perlu dibina protokol konseling yang menjelaskan secara singkat mengenai langkah-langkah operasional proses Konseling RKS yang terintegrasi dengan prosedur Konseling RKS.
(6) Konseling RKS efektif terhadap penyelesaian konflik antar teman sebaya:
(a) Klien dapat menyelesaikan konfliknya secara damai dan konstruktif dalam waktu 6 sesi pertemuan berdasarkan prosedur Kauseling RKS.
(b) Klien merasa senang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa dipaksa oleh orang lain dan mereka dapat menemukan cara menyelesaikan sendiri pada waktu proses Konseling RKS dilakukan.
(c) Klien bersedia mempertahankan hubungan damai dan sanggup menyelesaikan konfliknya secara konstruktif dan damai jika menghadapi perselisihan lagi.
Rumusan Pengembangan Model. Beberapa bahagian penting yang merupakan hasil revisi terhadap model Konseling RKS adalah sebagai berikut.
(1) Struktur tulisan direvisi lagi dan dilengkapkan sehingga menjadi sebagai berikut:
(a) Pendahuluan
(b) Teori pendukung dan pendekatan pengembangan model Konseling RKS
(c) Ruang lingkup Model Konseling RKS
(d) Prosedur Konseling RKS
(e) Protokol operasional pelaksanaan Konseling RKS
(f) Efektivitas konseling dan cara Penilaian
(2) Tahap Konseling RKS dilakukan dalam enam sesi yang terdiri dari tahap berikut:
(a) Tahap pendahuluan (dua sesi)
■ Membangun hubungan baik dengan klien dan pemahaman diri
■ Eksplorasi diri dan mempersiapkan proses negosiasi
(b) Tahap negosiasi (tiga sesi)
■ Membangun kebersamaan dan pemahaman dalam hubungan interpersonal
■ Perumusan masalah, kepentingan dan tujuan
■ Penyelesaian konflik
(c) Tahap penutup (satu sesi)
Model Konseling RKS pada dasarnya hasil revisi dari prototipe II. Revisi tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman lapangan pada waktu dilakukannya penelitian formatif terhadap kasus yang sebenarnya. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut lebih bersifat teknis. Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian terhadap prototipe II iaitu untuk mengetahui kepraktisan model tersebut diterapkan terhadap kasus konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Dengan wujudnya model operasional Konseling RKS bererti bahwa model tersebut telah memiliki validitas dan kepraktisan. Konseling RKS telah dapat diguna pakai sebagai model konseling dalam penelitian selanjutnya.
Pembahasan. Analisis secara kuantitatif terhadap aspek-aspek Konseling RKS menunjukkan bahwa model konseling RKS adalah valid. Besar skor yang diperoleh setiap item berada pada interval nilai koefisien .75-1.00. Artinya, item yang dinilai sebanyak 43 item memiliki nilai koefisien validitas yang cukup hingga validitas tinggi. Mengikut Borg & Gall (1983) hasil penilaian pakar dapat dijadikan dasar bagi penentuan validitas suatu model. Prosedur seperti ini juga dilakukan oleh peneliti lain ketika mengembangkan suatu model intervensi (mis. Maher 1986).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Konseling RKS yang valid dapat diuji kepraktisan sehingga diketahui bahwa model tersebut dapat diaplikasikan kepada sasarannya, iaitu untuk membantu remaja dalam menyelesaikan konflik dengan teman sebaya. Berdasarkan penelitian kepraktisan, terdapat beberapa hal yang perlu direvisi sehingga sesuai dengan keadaan subjek (remaja) dan dinamik proses konseling.
Penyesuaian yang dilakukan lebih banyak yang bersifat teknis. Mengikut pendapat Borg & Gall (1983) dan Richey et al. (2004) penyesuaian merupakan hal yang harus dilakukan dalam pengembangan suatu model. Penyesuaian tersebut dilakukan agar model yang dikembangkan lebih dapat diterapkan kepada sasarannya. Walau demikian, berdasarkan pengalaman peneliti pada waktu proses konseling dan pendapat klien mengenai keterlibatannya dalam proses konseling dalam menyelesaikan konflik, disimpulkan bahwa Konseling RKS adalah memiliki prosedur yang praktis.
Dengan demikian, menurut Borg and Gall (1983), Jones & Richey (2000) dan Marxt & Hacklin (2005) model Konseling RKS yang telah praktis tersebut dapat diteruskan untuk penelitian efektivitasnya sehingga diketahui kualitas model yang dikembangkan.
6. PENELITIAN III: EFEKTIVITAS MODEL
Tahap yang ketika adalah penelitian untuk mengetahui efektivitas model terhadap variabel yang diukur. Penelitian tahap yang katiga ini lebih bersifat ingin mengetahui kualitas model yang dikembangkan. Jika modelnya tersebut efektif dalam mengubah tingkah laku subjek berarti modelnya adalah berkualitas.
Partisipan. Untuk menetapkan subjek penelitian, dilakukan seleksi terhadap pelajar SMA dan SMK kelas X sampai XII sebanyak 1.373 pelajar di Mataram dan Malang. Mereka mengisi angket hubungan persahabatan. Berdasarkan hasil seleksi terhadap angket tersebut, terdapat 202 pelajar yang mengindikasikan mengalami konflik. Untuk memastikan apakah pelajar tersebut betul-betul mengalami konflik dengan temannya dan memenuhi syarat sebagai subjek penelitian, mereka diseleksi lagi melalui wawancara.
Berdasarkan hasil diseleksi dengan wawancara, sebanyak 96 pelajar yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Dipilih secara random sebanyak 40 pasang (80 individu) dan dibagi menjadi dua kelompok iaitu kelompok eksperimen (40 orang) dan kelompok kontrol (40 orang). Siswa yang menjadi subjek penelitian diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas, status sosial ekonomi, agama, suku bangsa dan tempat tinggal
Ciri-ciri subjek Kelompok eksperimen
(N=40) Kelompok kontrol
(N=40)
1. Usia 16-19 tahun
(M = 16.90; SP = .96) 16-19 tahun
(M = 16.80; SP = .72)
2. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan 20 orang (25%)
20 orang (25%) 20 orang (25%)
20 orang (25%)
3. Kelas
Kelas X
Kelas XI
Kelas XII 15 orang (18.75%)
21 orang (26.25%)
4 orang (5.00%) 13 orang (16.25%)
23 orang (28.75%)
4 orang (5.00%)
4. Status sosial ekonomi
Rendah
Menengah 22 orang (27.50%)
18 orang (22.50%) 21 orang (26.25%)
19 orang (23.75%)
5. Agama
Islam
Nasrani
Hindu 37 orang (46.25%)
1 orang (1.25%)
2 orang (2.50%) 38 orang (47.50%)
1 orang (1.25%)
1 orang (1.25%)
6. Suku bangsa
Sasak
Jawa
Bali 16 orang (20.00%)
22 orang (27.50%)
2 orang (2.50%) 15 orang (18.75%)
24 orang (30.00%)
1 orang (1.25%)
7. Tempat tinggal
Bersama ibu/bapak saja
Bersama kedua orang tua 8 orang (10.00%)
35 orang (43.75%) 3 orang (3.75%)
37 orang (46.25%)
Intervensi. Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah pemberian intervensi Konseling RKS kepada kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol tidak memperoleh intervensi. Pelajar yang menjadi kelompok eksperimen memperoleh layanan Konseling RKS (enam sesi, 60 menit per sesi). Layanan diawali dengan konseling individu sebanyak dua sesi dan selanjutnya memperoleh layanan konseling berpasangan sebanyak empat sesi.
Sesi pertama adalah intervensi individu yang diberikan kepada klien ke-1, klien ke-2 dan jika ada juga kepada klien ke-3. Sesi kedua dilakukan intervensi individu untuk mempersiapkan individu memasuki tahap negosiasi di tahap berikutnya. Pada sesi ketiga, intervensi dilakukan secara berpasangan, iaitu mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya secara langsung dan konselor sebagai mediatornya. Intervensi berpasangan ini dilakukan hingga sesi keenam. Subjek kelompok intervensi memperoleh Konseling RKS 6 sesi x 60 minit bagi setiap kasus, yang diberikan dua kali dalam seminggu. Subjek kelompok kontrol tidak memperoleh intervensi dan masuk daftar tunggu untuk memperoleh intervensi setelah postes.
Variabel Terikat dan Instrumen Pengukuran. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah perilaku damai (peaceful behavior), yaitu sikap, cara, usaha dan kebiasaan individu yang dilakukan untuk memperkuat dan meningkatkan rasa damai baik bagi dirinya mahupun orang lain dalam kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan teman-temannya atau dengan komunitas yang lebih luas. Berdasarkan pendapat Clayton, Ballif-Spanvill, & Hunsaker (2001), Gerstein & Moeschberger (2003) dan Nelson & Christie (1995) perilaku damai terdiri dari tiga aspek iaitu anti kekerasan dan permusuhan (antiviolence and hostilities), strategi penyelesaian konflik (conflict resolution strategies) dan membangun perdamaian (peace building).
Anti kekerasan dan permusuhan (AKP) adalah perilaku damai yang berupa usaha mencegah dan menghilangkan tingkah laku agresif terhadap orang lain dan lingkungannya, menghindari tingkah laku yang mengganggu, serta provokatif dan permusuhan terhadap orang lain. Strategi penyelesaian konflik (StPK) adalah perilaku damai dalam bentuk kemampuan individu menyelesaikan konflik interpersonalnya baik secara konstruktif atau destruktif. Individu yang berperilaku damai lebih konstruktif dalam menyelesaikan konflik yang dialami dibanding dengan individu yang kurang berperilaku damai. Membangun perdamaian (BD) merupakan perilaku damai berupa kemampuan individu dalam membangun hubungan baik dengan pihak lainnya sebagai kebersamaan antar mereka baik dalam keadaan konflik ataupun keadaan bekerjasama. (Clayton et al. 2001; Nelson & Christie 1996; Malhi 2004).
Untuk memperoleh data variabel terikat ini diperoleh dengan skala. Skala diambil dan diterjemahkan dari skala yang sudah ada dengan prosedur back-translation(Brislin 1976). Terdapat tiga instrumen yang digunakan untuk mengukut perilaku damai, yaitu Skala keagresifan dan permusuhan (SAP), Skala Strategi Penyelesaian Konflik (SSPK) dan Skala membangun hubungan perdamaian (SBHP). Sebelum instrumen tersebut diterapkan, telah dilakukan penilian oleh ahli psikologi dan pengukuran untuk menguji validitas konstruk dan dilakukan uji coba kepada kelompok remaja untuk mengukur validitas dan reliabilitasnya.
SAP diterjemehkan dari Aggression Questionnaire (AQ, Buss & Perry 1992), digunakan untuk mengukur tingkah laku AKP. SAP mengandung aspek tingkah laku agresif secara fisik, agresif secara lisan, rasa marah dan bermusuhan dengan orang lain. Dari 29 item yang diuji, terdapat 24 item yang valid dengan nilai validitas (korelasinya dengan keseluruhan item) yang terendah adalah .189 dan nilai validitas tertinggi adalah .474 (berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemukinan kesalahan di bawah .001. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .789.
SSPK diterjemahkan dari Conflict Dynamic Profile Resposes to Conflict Scale (CDP, Davis, Capabianco & Kraus 2004), digunakan untuk mengukur StPK yang terdiri dari aspek gaya individu dalam menyelesaikan konflik secara aktif-konstruktif, pasif-konstruktif, aktif-destruktif dan pasif-destruktif. Dari 15 item, terdapat 13 item yang valid dengan nilai validitas yang terendah adalah .142 dan nilai tertinggi adalah .439 dan berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemungkinan kesalahan di bawah .005. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .688.
SBHP dikembangkan dari Human Relation Skill Questionnaire (FQQ, Malhi 2004), digunakan untuk mengukur tingkah laku BD, yang terdiri dari aspek global kemampuan individu dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain. Sebanyak 15 item dinyatakan valid dengan nilai validitas yang terendah adalah .142 dan nilai tertinggi adalah .439 dan berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemungkinan kesalahan kurang dari .005. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .688.
Analisis Data Pretes. Penelitian ini terdapat dua kelompok iaitu kelompok intervensi (n=40) yang memperoleh Konseling RKS dan kelompok kontrol (n=40) yang tidak memperoleh Konseling RKS. Sebelum dilakukan intervensi perlu dipastikan bahwa min pretes variabel terikat iaitu perilaku damai (PD) dan subkonstruknya untuk kedua kelompok tidak terdapat perbezaan yang signifikan.
Berdasarkan uji-t, min pretes perilaku damai subjek kelompok eksperimen (M = -.253, SB = 1.944) dan kelompok kontrol (M = .252, SB = 2.559) tidak terdapat perbezaan yang signifikan, t (78) = -.993, p > .05. Dengan demikian, kedua kelompok merupakan kelompok yang homogen. Tidak adanya perbedaan yang signifikan juga terjadi pada ketiga subkonstruk, iaitu subkonstruk AKP sebesar t (78) = -.811, p > .05; StPK sebesar t (78) = -.902, p > .05; dan BD sebesar t (78) = -.540, p > .05. Oleh karena itu, min pretes subkonstruk AKP, StPK dan BD antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen.
Analisis Pretes dan Postes. Sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, intervensi psikologi dan konseling efektif dalam meningkatkan kecenderungan perilaku damai, antaranya dilakukan oleh Clayton et al. (2001), Smith, Daunic, Miller & Robinson (2002), Freire, Koller, Piason & Silva (2005), dan Rogers (1987).Berdasarkan berbagai penelitian di atas hipotesis yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
(1) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku damai remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(2) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku anti kekerasan kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(3) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku strategi penyelesaian konflik remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(4) Terdapat perbedaan yang signifikan tingkah laku membangun perdamaian remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
Secara deskriptif diketahui bahawa kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol terdapat perbezaan min pretes dan min postes, baik untuk variabel utama iaitu perilaku damai (M=2.431, SB =.31) mahupun subkonstruk tingkah laku anti kekerasan dan permusuhan (AKP) (M=8.55, SB=204), strategi penyelesaian konflik (StPK) (M=4.95, SB=1.06) dan membangun perdamaian (BD) (M=4.90, SB=1,61). Secara keseluruhan, subjek kelompok eksperimen memiliki min pemdapat terikat lebih tinggi berbanding kelompok kontrol.
Untuk mengetahui diterima atau tidaknya hipotesis tersebut, dilakukan pengujian terhadap hipotesis dengan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa terdapat perbezaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol untuk min variabel perilaku damai, t (78) = 7.913, p < .001; AKP, t (78) = 4.199, p < .001; StPK, t (78) = 4.690, p < .001 dan BD, t (78) = 3.037, p < .01. Dengan keputusan tersebut dapat dirumuskan bahwa Konseling RKS efektif dalam meningkatkan perilaku damai dan subkonstruk AKP, StPK dan BD.
Tabel 2 Ringkasan hasil uji-t melihat efektivitas Konseling RKS terhadap variabel terikat
variabel Kelompok Min SB dk t p
Perilaku damai (PD) Eksperimen
Kawalan 1.216
-1.215 1.259
1.481 78 7.913*** .000
Anti kekerasan dan permusuhan (AKP) Eksperimen
Kawalan 8.320
-.230 8.103
10.01 78 4.199*** .000
Strategi penyelesaian konflik (StPK) Eksperimen
Kawalan 3.250
-1.700 4.319
5.090 78 4.690*** .000
Membangun perdamaian (BD) Eksperimen
Kawalan 2.580
-2.330 6.381
7.963 78 3.037** .003
**k<.01; ***k≤.001.

Pembahasan. Berdasarkan hasil analisis, Konseling RKS efektif meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja. Konseling RKS juga efektif meningkatkan subkonstruk tingkah laku anti kekerasan dan permusuhan (AKP), strategi penyelesaian konflik (StPK) dan membangun perdamaian (BD). Hasil penelitian ini mengandung dua pengertian. Pertama, perilaku damai pada dasarnya dapat ditingkatkan ke peringkat yang lebih tinggi, iaitu dari tingkah laku yang kurang damai menjadi tingkah laku yang lebih damai. Kedua, Konseling RKS merupakan metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku damai dan telah terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pandangan Pendekatan Berpusat Person, bahwa konseling dilakukan untuk meningkatkan keadaan klien menjadi kongruens, iaitu keadaan psikologi klien yang keadaannya tidak mengalami konflik internal dan lebih harmonis dalam berhubungan dengan orang lain (Rogers 1961; 1962; 1963). Subjek yang kongruens akan lebih bersikap damai dengan orang lain (Rogers 1987, Barrett-Lennard 1999; Kirschenbaum 2004).
Penelitian oleh Guneri & Cuban (2004) terhadap remaja di Turki, Friere et al. (2005) kepada remaja di Brazil, Cochran, Ballif-Spanvill, & Hunsaker (2000) kepada kanak-kanak di USA membuktikan bahwa intervensi psikologi berpengruh dalam meningkatkan perilaku damai. Penelitian Barret-Lennard (1999) kepada peserta workshop perdamaian yang menggunakan Pendekatan Pemusatan Person di Amerika Latin juga membuktikan bahwa di antara kelompok yang saling bermusuhan dapat saling menerima dan komunikasi setelah mereka mendiskusikan masalahnya secara terbuka. Berbagai intervensi yang dilakukan oleh konselor di antaranya konseling, latihan resolusi konflik dan komunikasi yang empatetik efektif dalam peningkatan tingkah laku subjek menjadi lebih memahami orang lain, menyelesaikan masalahnya secara konstruktif, dan mengembangkan perilaku damai kepada orang lain.
Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu yang dilakukan dengan metode eksperimen (mis. Shechtman & Nachchol 1996) atau meta-analisis (mis. Clyton et al. 2001; Prout & DeMartino 1986; Wilson & Lipsey 2007) atau penelitian eksperimen secara tidak langsung kepada pelajar (mis. Orpinas & Horne 2004). Berbagai penelitian tersebut merumuskan bahwa intervensi oleh konselor yang berbasis pada kegiatan di sekolah dapat mengurangi sikap dan tingkah laku agresif, meningkatkan kemampuan remaja dalam menyelesaikan konflik interpersonal, dan meningkatkan hubungan interpesonal antar mereka. Dengan kata lain, intervensi tersebut dapat meningkatkan kecenderungan remaja untuk berperilaku damai.
Mengapa konseling RKS berpengruh kepada variabel tersebut? Konseling RKS disusun dengan Pendekatan Berpusat Person. Dia menekankan bahwa keadaan terapeutik harus ada dalam proses konseling untuk menyelesaikan masalah klien. Keadaan terapeutik tersebut adalah keadaan konselor yang kongruens, penghargaan tanpa syarat dan empatetik. Keadaan terapeutik tersebut memberikan kebebasan kepada klien untuk katarsis, membebaskan hambatan emosi, lebih terbuka dan bersedia untuk menyelesaikan masalahnya. Faktor terapeutik tersebut selalu ada sepanjang proses konseling (Lampropaulus 2001; Bloch, Reibstein, Crouch, Holroyd & Themen 1979; Rogers 1946, 2007).
Rogers (2007) menegaskan bahwa keadaan terapeutik tersebut harus terjadi pada proses konseling untuk menghasilkan perubahan kepribadian klien. Sesuai dengan laporan diri klien melalui angket yang diberikan setelah konseling berakhir, klien menyatakan bahwa ia merasakan keadaan terapeutik ketika proses konseling iaitu konselor yang kongruens, empati dan memberikan perhatian ketika memperoleh layanan dengan konseling RKS.
Intervensi yang dilakukan secara tidak langsung iaitu intervensi kepada guru juga berpengruh kepada peningkatan tingkah laku positif di kalangan remaja. Penelitian yang dilakukan Zhang (1994), iaitu pelatihan kepada guru mengenai model resolusi konflik yang konstruktif dan belajar kerjasama berpengruh terhadap peningkatan tingkah laku sosial, mengurangi tingkah laku yang mencelakakan pihak lain, lebih bersikap positif kepada pihak lain dan hubungan interpersonal di kalangan pelajar.
Hasil penelitian ini adalah sesuai dengan teori dan hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh intervensi yang berbasis pada program sekolah dapat mengurangi keagresifan dan permusuhan antar pelajar, dapat meningkatkan kemahiran kanak-kanak dan remaja dalam menyelesaikan konflik, dan dapat mengembangkan hubungan sosial antara mereka.
7 IMPLIKASI PENELITIAN
Pengembangan bidang Psikologi Konseling. Kajian ini merupakan satu usaha untuk menghasilkan suatu model konseling yang disusun untuk kasus yang khusus untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Meskipun penelitian ini dikembangkan dengan pendekatan yang telah ada, tetapi dari segi prosedur dan kasus yang ditangani adalah masalah yang baru. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi psikologi konseling, khususnya dalam ppenyelesaian konflik antar teman sebaya.
Penerapan Konseling di Sekolah. Selama ini, konseling belum banyak diterapkan untuk menyelesaikan kes konflik antar teman sebaya. Umumnya kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur “pengadilan” (arbitrasi). Penelitian ini memberikan sumbangan, bagaimana kasus konflik antar sebaya di kalangan remaja dapat diselesaikan dengan Konseling RKS.
Peningkatan perilaku damai. Banyak dijumpai sekolah yang bermasalah dengan perilaku pelajarnya yang berulang-ulang belakukan perkelahian dan perilaku kurang damai. Sebenarnya UNESCO telah berkampanye keadaan sekolah yang damai, tetapi pelaksanaannya tidak mudah. Penelitian ini memberikan sumbangan bagaimana membangun sekolah yang damai melalui Konseling RKS.
8. KETERBATASAN DAN USULAN UNTUK PENELITIAN MENDATANG
Masalah yang dijumpai dalam penelitian ini antara lain: adanya pelajar yang tidak konsisten dengan kesepatan awal misalnya dia menghentikan proses konseling sebelum seluruh konseling diselesaikan, pelaksanaan konseling dilakukan ketika jam pelajaran yang membuat siswa kurang siap memasuki sesi konseling, waktu pemberian intervensi antara klien yang satu dengan yang lain tidak sama yang memungkinkan dapat berpengaruh kepada hasil penelitian, siswa merasa terganggu dipanggil konselor untuk proses konseling karena dianggap ada masalah baik oleh temannya maupun oleh guru, dan peneliti adalah bertindak sebagai konselor dalam pemberian intervensi. Masalah-masalah tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap hasil penelitian.
Untuk penelitian yang akan datang faktor-faktor yang menjadi masalah dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan dan diperhatikan untuk keperluan pengurangan bias terhadap hasil penelitian. Dengan demikian hasilnya nanti akan lebih baik. Untuk keperluan validitas eksternal, dalam penelitian yang yang akan datang diharapkan kajian ini diperluas dari segi subjeknya, karakteristik kepribadiannya, latar belakang budaya, jenis konflik dan keadaan keluarga yang dipandang oleh banyak ahli turut mempengaruhi hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L.R. 1980. Content validity and reliability of single items or questionnaires.Educational and Psychological Measurement 40: 955-959.
Aryanto, A. 1992. Tinjauan teori Reasoned Action dan Planned Behavior mengenai tingkah laku terlibat dalam perkelahian pada siswa SLTA dan STM di Jakarta. Tesis Master, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Jakarta.
Bagdonis, A.S. & Salisbury., D.F. 1994. Development validation of models in instructional design. Educational Technology April: 26-32.
Barrett-Lennard, G.T. 1998. Carl Rogers’ helping system: journey and substance. London: Sage Publications
Bertrand, J. 2005. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. London: Cambridge University Press.
Bloch, S., Reibstein, J., Crouch, E., Holroyd, P. & Themen, J. 1979. A method for the study of therapeutic factors in group psychotherapy. British Journal of Psychiatry 134: 257-263.
Borg, W.R. & Gall, M.D. 1983. Educational research: an introduction. Edisi ke-3. New York: David McKay
Brislin, R.W. 1976. Comparative research methodology: cross-cultural study.International Journal of Psychology 11 (3) 215-229.
Buss, A.H. & Perry, M. 1992. The Aggression questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology 63: 452-459
Clayton, C.J., Ballif-Spanvill, B. & Hunsaker, M.D. 2001. Preventing violence and teaching peace: lanjutkan. Applied and Preventive Psychology 10: 1-35.
Cochran, J.L., Cochran, N.H., & Hatch, E.J. 2002. Empathetic communication for conflict resolution among children. The Person-Centered Journal 9 (2): 110-118.
Colombijn, F. & Lindblad. 2002. Roots of the violence in Indonesia. Singapura: Institut of Southeast Asia Studies
Davis, M.H., Capabianco, S., & Kraus, L.A. 2004. Measuring conflict-related behaviors: reliability and validity evidence regarding the conflict dynamics profile. Educational & Psychological Measurement 64 (4): 707-731
Deutsch, M. 1993. Educating for a Peaceful World. American Psychologist. 48 (5): 510-517
Druckman, D. 2005. Doing Research: methods of inquiry for conflict analysis. Oaks/California: Sage Publication.
Freire, E.S., Koller, S.H., Piason, A., & Silva, R.B. 2005. Person-Centered Therapy with impoverished, maltreated, and neglected children and adolescents in Brazil. Journal of Mental Health Counseling 27 (3) 225+. http://www.questia.com/ PM.qst?a [20 November 2006]
Gani, A.H. 2000. Konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok di terminal bus antarkota Kampung Rambutan Jakarta Timur. Tesis Mater Universitas Indonesia Jakarta.
Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.
Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.
Guneri, Y. & Coban, R. 2004. The effect of conflict resolution training on Turkish elementary school students: a quasi-experimental investigation. International Journal for the Advancement of Counseling 26 (2) 109-124.
Habib, A. 2004. Konflik antaretnik di pedesaan: Pasang surut hubungan Cina-Jawa.Yogyakarta: LKIS.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1994. Constructive conflict in the schools. Journal of Social Issues 50 (1): 117-137.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1995. Teaching student to be peacemaker: Results of five years of research. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1 (4): 438+ http://www.questia.com/ PM.qst?a=o&d=76938931
Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., & Acikgos, K. 1994. Effect of conflict resolution training on elementary school students. Journal of Social Psychology 134 (6): 803-817
Kirschenbaum, H. 2004. Carl Rogers’s life and work an assessment on the 100thanniversary of his birth. Journal of Counseling and Development 82 (1) 116+.
Lampropoulus, G.K. 2001. Common processes of change in psychotherapy and seven other social interactions. British Journal of Guidance and Counselling 29 (1): 21-33.
Latipun. 2005. Penanganan sekolah terhadap konflik antar remaja. Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.
Laursen, B., Finkelstein, B.D., Betts, N.T. 2001. A developmental meta-analysis of peer conflict resolution. Developmental Review 21: 423-449.
Maher, C.A. 1986. Evaluation of a program for improving conflict management skills of special services directors. Journal of School Psychology 24: 45-53.
Malhi, R.S. 2004. Enhancing personal quality. Kuala Lumpur: TQM Consultants SDN. Bhd.
Marxt, C. & Hacklin, F. 2005. Design, product development, innovation: all the same in the end? A short discussion on terminology. Journal of Engineering Design 16 (4): 413-421.
Matindas, R. 1996. Tawuran pelajar: produk usang dalam kemasan baru. Tempo, 20 Apr 1996
Moonen, J. 1999. The design and prototyping of digital learning material: some new perspectives. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 95-112). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Nelson, L.L. & Christie, D.J. 1995. Peace in the psychology curriculum: moving from assimilation to accommodation. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1 (2): 161-178.
Newman, R.S., Murray, B., & Lussier, C. 2001. Confrontation with aggressive peers at school: Student’ reluctance to seek help from the teacher. Journal of Educational Psychology 93 (2): 398-410
Nieveen, N. 1999. Prototype to reach product quality. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 125-135). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Orpinas, P. & Horne, A.M. 2004. A teacher-focused approach to prevent and reduce students’ aggressive behavior: the GREAT teacher program. American Journal of Preventive Medicine 26 (1S): 29-38.
Page, R.M., & Hammermeister, J. 1997. Weapon-carrying and youth violence.Adolescence 32 (127): 505-513.
Prout, H.T. & DeMartino, R.A. 1986. A Meta-analysis of school-based studies of psychotherapy. Journal of School Psychology 24: 285-292.
Rais, M.F. 1997. Tindak pidana perkelahian pelajar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ratnawati, T. 2006. Maluku: dalam catatan seorang peneliti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Richey, R.C., Klein, J.D., & Nelson, W.A. 2004. Developmental Research. Dlm. Jonassen, D.H. (pnyt.) Handbook of research on educational communications and technology. Edisi ke 2, hlm. 1099-1130. Mahwah, NJ. Lawrence Erlbaum Ass.
Rogers, C.R. 1946. Significant aspect of Client-Centered Therapy. American Psychologist 1: 415-233. Online: http//psychclassic.yorku.ca/Rogers
Rogers, C.R. 1961. On becoming a person. Boston: Houghton Mifflin Co.
Rogers, C.R. 1962. The Interpersonal relationship: the core guidance. Harvard Educational Review 32 (2): 416-429.
Rogers, C.R. 1963. The concept of the fully functioning person. Psychotherapy: Theory, Research, Practice 1 (1): 17-26.
Rogers, C.R. 1987. The understanding theory: drawn from experience with individual and group. Counseling and Values 32 (1): 38-46.
Rogers, C.R. 2007. The necessary and sufficient conditions of therapeutic personality change. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training 44 (3): 240-248 (cetak ulang Journal of Consulting Paychology 21: 95-103.
Shechtman, Z & Nachshol, R. 1996. A school-based intervention to reduce aggressive behavior in maladjusted adolescents. Journal of Applied Developmental Psychology17: 535-552.
Smith, S.W., Daunic, A.P., Miller, M.D., & Robinson, T.R. 2002. Conflict resolution and peer mediation in middle schools: extending the process and outcome knowledge base. The Journal of Social Psychology 142 (5) 567-586.
Theberge, S.K. & Karan, O.C. 2004. Six factors inhibiting the use of peer mediation in a Junior High School. Professional School Counseling 7 (4): 283-290.
Valcke, M., Kirschner, P., & Bos, E. 1999. Enabling technologies to design, produce and exploit flexible, electronic learning material. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 249-264). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher
van den Akker, J. 1999. Principles and method of development research. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training, hlm. 1-14. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Wilson, S.J. & Lipsey, M.W. 2007. School-based interventions for aggressive and disruptive behavior. American Journal of Preventive Medicine 33: S131-S143.
Zhang, Q. 1994. An Intervention model of constructive conflict resolution and cooperative learning. Journal of Social Issues 50 (1): 99-116