Sabtu, 18 Juni 2011

Pengembangan Model Konseling Berfokus Konflik Resolusi Antar Teman Sebaya di Kalangan Remaja
Posted on 6 Maret 2010 by TRIYONO


Oleh: Latipun
Ketua ABKIN Cabang Kabupaten Malang/
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
(email: lativ_un1@yahoo.com)
ABSTRAK
Konflik antar teman sebaya di kalangan remaja banyak kita jumpai terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan konflik yang efektif perlu dikembangkan suatu model konseling yang sesuai untuk kasus tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) yang memiliki validitas, kepraktisan dan keefektifan dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja. Pendekatan penelitian adalah penelitian pengembangan. Subjek sebanyak 105 individu (90 siswa, 3 konselor dan 4 dosen) di Malang (Jawa Timur) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Data kuantitatif diperoleh dengan skala sedangkan data kualitatif dikumpulkan dengan observasi partisipasi dan wawancara. Analisis data kualitatif dilakukan analisis triangulasi dan analisis data kuantitatif dilakukan dengan uji-t. Konseling RKS yang dikembangkan terdiri dari: latar belakang, pendekatan dan teori pndukung, ruang lingkup, prosedur, dan keefektifan dan cara penilaian. Hasil penelitian mempunyai bukti yang cukup bahwa Konseling RKS adalah model yang valid dan praktis dan dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Konseling RKS juga efektif dalam meningkatkan perilaku anti kekerasan dan permusuhan, meningkatkan penggunaan strategi penyelesaian konflik yang damai dan membangun perdamaian.
Kata kunci: konseling, resolusi konflik, remaja, pengembangan model, perilaku damai, anti kekerasan.

1. PENDAHULUAN
1.1 Permasalahan
Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia (Bertrand 2005; Colombijn & Lindblad 2002), misalnya ‘tindak main hakim sendiri’ (Colombijn & Lindblad 2002), konflik antara suku dan etnik (Ratnawati 2006; Habib 2004), perkelahian antara kampung dan geng (Gani 2000), dan budaya kekerasan dalam rumah tangga. Konflik seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak berkonflik yang disertai tindakan agresif (Ariyanto 1992).
DeCecco dan Richards telah mengkaji penggunaan tindak kekerasan oleh remaja dalam menyelesaikan konflik di Amerika Serikat (Johnson, Johnson, Dudley & Acikgos 1994). Menurutnya sebanyak 90% konflik yang dialami remaja tidak terselesaikan, dan 25% remaja menyelesaikannya dengan cara paksaan, kekerasan, atau perkelahian. Persentase penggunaan kekerasan oleh remaja di Indonesia tidak sebesar hasil penelitian di Amerika tersebut. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Aryanto (1992), remaja di Jakarta yang melakukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalahnya sekitar 3.8%.
Hasil penelitian pendahuluan[1] di Malang, Indonesia, menunjukkan prevalensi remaja yang mengalami konflik dengan teman sebaya sebanyak 21%, dan sebanyak 81% dari 141 remaja yang menjadi sampel menyatakan pernah mengalami perselisihan dan konflik dengan teman sebaya di sekolah. Sedangkan jumlah konflik yang dialami pelajar dalam waktu dua tahun sebanyak 59% mengalami 1-2 kali konflik sahaja, 11% mengalami 3-4 kali konflik, dan 29% mengalami 5 kali konflik atau lebih.
Untuk menciptakan kondisi damai di sekolah, konflik antar pelajar perlu ditangani yang lebih serius. Banyak sekolah melakukan pengendalian terhadap perilaku pelajar secara ketat (Matindas 1996; Page & Hammermeister 1997) tetapi apa pula yang mengembangkan pendekatan edukatif. Terdapat tiga pendekatan edukatif yang umum diterapkan di sekolah untuk mengatasi konflik di kalangan pelajar, iaitu: (1) pendidikan damai yang dintegrasikan dengan kurikulum sekolah, (2) latihan penyelesaian konflik secara konstruktif, dan (3) mediasi dan negosiasi oleh teman sebaya (Gerstein & Moeschberger 2003; Newman, Murray & Lussier 2001; Johnson & Johnson 1994; Deutsch, 1993). Berdasarkan berbagai penelitian, model penyelesaian konflik tersebut adalah efektif, di antaranya dapat meningkatkan pengetahuan pelajar dalam menyelesaikan konflik secara konstruktif, lebih bersikap prososial, dan dapat menghindari sebagai korban dari tindak kekerasan (Johnson & Johnson 1995; Laursen, Finkelstein, & Betts 2001; Zhang 1994).
Namun demikian, menurut Theberge & Karan (2004) program penyelesaian konflik yang diajarkan di sekolah tidak banyak dipraktikkan oleh siswa. Menurutnya, hanya 8% pelajar yang mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hambatan dalam mengaplikasikan program tersebut adalah remaja kurang percaya kepada kemampuan temannya dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian, untuk penyelesaian konflik antar teman sebaya diperlukan model yang lebih diterima oleh remaja, mudah diterapkan, dan efektif bagi penyelesaian konfliknya (den van Akker 1999; Nieveen 1999).
Pada dasarnya, remaja yang mengalami konflik perlu ditolong dengan metode yang sesuai sehingga mereka dapat menyelesaikannya secara tepat, iaitu menyelesaikannya secara konstruktif dan dapat menyelesaikan masalah psikologis yang menyertainya. Sebagaimana yang diharapkan oleh sebahagian besar pimpinan sekolah (97%) bahwa penyelesaian konflik antar teman sebaya dapat dilakukan melalui konseling sehingga lebih efektif dalam mencegah terjadinya peningkatan konflik, peningkatan rasa damai di sekolah, serta penyelesaian konflik secara lebih cepat (Latipun 2005).
Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan konseling untuk menangani konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Sebanyak 80% pimpinan sekolah di Indonesia memandang konselor sekolah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas semua permasalahan sosial dan psikologis yang dialami oleh pelajar. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting bagi konselor untuk memiliki panduan dalam menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan pelajar.
Berdasarkan kepada uraikan di atas, permasalahan penelitian adalah (1) bagaimanakah model konseling yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus konflik antar teman sebaya di kalangan remaja? (2) adakah konseling yang berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) efektif dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja?

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengembangkan model konseling berfokus resolusi konflik antar teman sebaya (Konseling RKS) di kalangan remaja. Secara lebih khusus, tujuannya adalah: (1) mengembangkan model Konseling RKS yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja dan (2) menguji efektivitas Konseling RKS dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja.
2. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pengembangan (Borg & Gall 1983; Richey, Klein, & Nelson 2004), iaitu penelitian bagi mengembangkan suatu produk atau model (Bagdonis & Salisbury 1994; Borg & Gall 1983; Richey, Klein & Nelson 2004; Marxt & Hacklin 2005). Model yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah konseling yang berfokus resolusi konflik antara teman sebaya di kalangan remaja.
Berdasarkan pandangan banyak ahli (Marxt & Hacklin 2005; Richey et al. 2004; van den Akker 1999; Valcke, Kirschner & Bos 1999) penelitian pengembangan model dapat disederhanakan menjadi tiga tahap iaitu konseptualisasi prototipe, penyusunan model, dan pengujian model. Dengan tahapan tersesebut, model yang dikembangkan diharapkan menjadi model yang validitas, praktis dan efektif.
4. PENELITIAN I: KONSEPTUALISASI PROTOTIPE
Berdasarkan penelitian terdahulu dan diskusi terbatas dengan berbagai sumber dibuat draft awal dan seterusnya dikembangkan menjadi prototipe Konseling RKS, yang disebut sebagai prototipe I. prototipe merupakan versi awal dari suatu produk, yang belum lengkap, belum dapat dipakai secara sempurna dan perlu diperbaiki untuk menghasilkan produk akhir (Moonen 1999).
Untuk penyusunan prototipe yang lebih baik, draft yang telah disusun perlu memperoleh kritik dan saran dari ahli konseling dan konselor. Kritik dan saran tersebut dijadikan dasar untuk memperbaiki prototipe. Beberapa bahagian dari draftawal direvisi dan dibaiki berdasarkan masukan dari mereka.
Sebanyak 11 orang yang dapat memberikan kritik dan saran tehadap draft Konseling RKS iaitu konselor sekolah (tiga orang), ahli dan dosen psikologi dan konseling (enam orang), serta ahli konflik dan pendidikan damai (dua orang). Hasil revisi terhadap draft prototipe Konseling RKS disebut sebagai Prototipe I. Penyusunan Prototaip I pada dasarnya adalah pra-penelitian dalam penelitian pengembangan. Hasil penyusunan prottotipe ini masih perlu kajian selanjutnya untuk menghasilkan model yang diharapkan.
Prototipe Konseling RKS mengandung pokok pikiran: (1) latar belakang pengembangan model konseling, (2) nama model yang dikembangkan, (3) pendekatan pengembangan model, (4) teori pendukung Konseling RKS, (5) ruang lingkup model Konseling RKS, (6) prosedur Konseling RKS, dan (7) efektivitas konseling dan cara penilaian.
5. PENELITIAN II: PENGEMBANGAN MODEL
Prototaip yang tersusun selanjutnya dilakukan pengujian dari segi validitas dan kepraktisannya. Pengujian tersebut dapat disebut pula sebagai penelitian formatif sebagai usaha pengembangan model Konseling RKS. Secara bertahap prosedur dan hasil penelitian formatif ini akan dijelaskan berikut ini.
1. Pengujian Validitas Model
Partisipan. Prototipe yang dikembangkan sebagai model harus memenuhi persyaratan sebagai model yang valid. Dalam penelitian ini pengujian validitas dilakukan dengan meminta penilaian mengenai aspek-aspek konseling yang disusun kepada pihak yang ahli dan konselor. Sebanyak 4 dosen dan 3 konselor terlibat dalam penelitian, yang dipilih dengan teknik snowball sampling.
Analisis Data. Penilaian ada dua jenis, yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif. Penilaian yang bersifat kualitatif dianalisis secara kuatitatif yaitu teknik triangulasi, dan penilaian kuantitatif dianalisis secara kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menelaah semua kritikan dan saran dari penilai. Semua saran dan kritikan ditulis, dianalisis dan diperbandingkan dengan orientasi teori yang digunakan. Kritikan dan saran yang sesuai dengan teori dan maksud penyusunan model dapat diterima dan secara langsung dijadikan dasar merevisi prototipe, sedangkan kritik dan saran yang tidak sesuai dengan teori dan maksud penyusunan model tidak dijadikan dasar perbaikan prototipe (Druckman 2005; Bagdonis & Salisbury 2004).
Penilaian terhadap prototipe mengacu pada 43 pertanyaan yang disediakan yang terkait dengan model yang disusun. Setiap pertanyaan diberi skor 1-5. Skor satu menunjukkan bahwa aspek/item tersebut kurang valid untuk pengembangan model, sedangkan skor 5 menunjukan bahwa aspek/item tersebut adalah sangat valid sebagai Konseling RKS. Analisis kuantitatif (analisis validitas) dilakukan terhadap skor penilaian oleh penilai sebagaimana dikemukakan oleh Aiken (1980).
Hasil Analisis. Menurut Aiken (1980), suatu item dapat dinyatakan valid jika memperoleh nilai koefisien validitas item minimal pada V = .75, k = .030 untuk skala yang peringkat penilaiannya adalah 5 dan penilai sebanyak tujuh orang. Implikasi dari pengujian validitas tersebut aspek-aspek yang valid dipertahankan sebagai aspek dari Konseling RKS, sedangkan aspek yang tidak valid dilakukan revisi dan selanjutnya meminta kepada penilai untuk memberikan penilaian lagi. Revisi terus dilakukan sehingga aspek tersebut menjadi valid secara statistik.
Berdasarkan penilaian tersebut, semua item yang dinilai memiliki validitas sebagai Konseling RKS dengan nilai koefisien validitas V = .75 – 1.00. Latar belakang pengembangan model memperoleh V= .86, pendekatan pengembangan model dan teori pendukung memperoleh V= .79 – 1.00, ruang lingkup model memperoleh nilai koefisien .75 – .96, prosedur konseling memperoleh V= .79 – .96 dan keefektivan konseling dan cara penilaian memperoleh V= .75 – .96. Secara keseluruhan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Konseling RKS adalah valid secara isi. Konseling RKS yang memiliki validitas tersebut menjadi Prototipe II.
2. Pengujian Kepraktisan Model
Seperti yang diuraikan di atas, prototipe II merupakan prototipe yang valid. Namun demikian, prototipe tersebut perlu diketahui apakah prototipe tersebut dapat diterapkan untuk kasus yang sebenarnya (Akker 1999; Nieveen 1999). Oleh karena itu, prototipe tersebut harus diteliti secara kepraktisannya kepada kasus yang sesungguhnya. Penelitian penilaian dilakukan untuk memperoleh model yang lebih mudah diterapkan dalam menyelesaikan konflik antar teman sebaya.
Partisipan. Pada tahap pengujian kepraktisan model, sebanyak 10 orang siswa yang partisipasi. Mereka adalah siswa SMA/SMK di Malang. Mereka dipilih secara pouposif sampling, yaitu siswa dengan ciri-ciri: (a) berumur 16-19 tahun, (2) sedang mengalami konflik dengan remaja yang lain dan (c) konflik telah terjadi sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan belum selesai.
Metode. Pengujian kepraktisan model Konseling RKS dilakukan dua tahap. Pertama, penelitian terhadap empat subjek (dua kasus konflik), yang bertujuan untuk mengetahui apakah model yang dirumuskan dapat diaplikasikan dengan mudah untuk kasus yang diteliti. Konseling RKS dilakukan dalam 8 sesi, dengan waktu 75 menit per sesi. Subjek adalah sepasang lelaki dan sepasang perempuan. Tahap kedua, penelitian dilakukan kepada enam pelajar (tiga kasus konflik), sebagai kelanjutan dari penelitian tahap pertama. Penelitian tahap kedua dilakukan berdasarkan prosedur Konseling RKS yang telah direvisi berdasarkan penelitian tahap yang pertama.
Analisis Data. Analisis kepraktisan merupakan analisis yang dilakukan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah prototipe yang disusun dapat diaplikasikan dalam kasus yang sebenarnya? Analisis dilakukan terhadap hasil observasi partisipasi dan wawancara dengan klien mengenai pelaksanaan Konseling RKS dalam menyelesaikan kasusnya.
Data yang diperolehnya ditulis, direduksi dan dianalisis. Dari analisis tersebut diklasifikasikan adanya data yang dapat meningkatkan fungsi kepraktisan dan data yang tidak dapat meningkatkan kepraktisan. Data yang dapat meningkatkan kepraktisan dijadikan dasar revisi prototipe menjadi model, sedangkan data tersebut tidak dapat meningkatkan kepraktisan akan diabaikan. Analisis terhadap proses pengujian formatif dilakukan secara kualitatif.
Hasil Penelitian. Hasil penelitian terhadap kasus konflik antar teman sebaya di kalangan pelajar sekolah menengah diperoleh hasil sebagai berikut.
(1) Konseling RKS untuk mnyelesaikan konflik antar teman sebaya untuk kasus yang menengah dapat dilakukan sebayak 6 sesi, dimulai dari sesi pendahuluan hingga sesi penutup. Delapan sesi seperti rencanakan pada prototipe I adalah waktu yang terlalu lama bagi klien dan membosankan bagi mereka dalam menyelesaikan masalahnya.
(2) Pada sesi awal konselor dapat menjalankan Konseling RKS dengan lebih aktif untuk membangun hubungan baik antara klien dan konselor (rapport). Keadaan terapeutik perlu diciptakan oleh konselor dimulai dari sesi awal konseling
(3) Pada sesi awal, sebagian besar klien berperasaan enggan untuk dipertemukan dengan lawan konfliknya. Mempersiapkan kondisi psikologis klien dalam menghadapi negosiasi merupakan perkara yang sangat penting. Tahap pendahuluan yang berfungsi sebagai tahap mempersiapkan klien memasuki tahap negosiasi dapat dilakukan dua kali sesi, hingga klien benar-benar sedia untuk menjalankan negosiasi secara konstruktif.
(4) Klien yang belum sanggup mengikuti Konseling RKS hingga akhir sesi kedua pada dasarnya dapat dilanjutkan dengan intervensi individu sehingga sedia untuk memasuki sesi negosiasi secara langsung dengan pihak lawan konflik.
(5) Bagi memudahkan proses konseling perlu dibina protokol konseling yang menjelaskan secara singkat mengenai langkah-langkah operasional proses Konseling RKS yang terintegrasi dengan prosedur Konseling RKS.
(6) Konseling RKS efektif terhadap penyelesaian konflik antar teman sebaya:
(a) Klien dapat menyelesaikan konfliknya secara damai dan konstruktif dalam waktu 6 sesi pertemuan berdasarkan prosedur Kauseling RKS.
(b) Klien merasa senang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa dipaksa oleh orang lain dan mereka dapat menemukan cara menyelesaikan sendiri pada waktu proses Konseling RKS dilakukan.
(c) Klien bersedia mempertahankan hubungan damai dan sanggup menyelesaikan konfliknya secara konstruktif dan damai jika menghadapi perselisihan lagi.
Rumusan Pengembangan Model. Beberapa bahagian penting yang merupakan hasil revisi terhadap model Konseling RKS adalah sebagai berikut.
(1) Struktur tulisan direvisi lagi dan dilengkapkan sehingga menjadi sebagai berikut:
(a) Pendahuluan
(b) Teori pendukung dan pendekatan pengembangan model Konseling RKS
(c) Ruang lingkup Model Konseling RKS
(d) Prosedur Konseling RKS
(e) Protokol operasional pelaksanaan Konseling RKS
(f) Efektivitas konseling dan cara Penilaian
(2) Tahap Konseling RKS dilakukan dalam enam sesi yang terdiri dari tahap berikut:
(a) Tahap pendahuluan (dua sesi)
■ Membangun hubungan baik dengan klien dan pemahaman diri
■ Eksplorasi diri dan mempersiapkan proses negosiasi
(b) Tahap negosiasi (tiga sesi)
■ Membangun kebersamaan dan pemahaman dalam hubungan interpersonal
■ Perumusan masalah, kepentingan dan tujuan
■ Penyelesaian konflik
(c) Tahap penutup (satu sesi)
Model Konseling RKS pada dasarnya hasil revisi dari prototipe II. Revisi tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman lapangan pada waktu dilakukannya penelitian formatif terhadap kasus yang sebenarnya. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut lebih bersifat teknis. Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian terhadap prototipe II iaitu untuk mengetahui kepraktisan model tersebut diterapkan terhadap kasus konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Dengan wujudnya model operasional Konseling RKS bererti bahwa model tersebut telah memiliki validitas dan kepraktisan. Konseling RKS telah dapat diguna pakai sebagai model konseling dalam penelitian selanjutnya.
Pembahasan. Analisis secara kuantitatif terhadap aspek-aspek Konseling RKS menunjukkan bahwa model konseling RKS adalah valid. Besar skor yang diperoleh setiap item berada pada interval nilai koefisien .75-1.00. Artinya, item yang dinilai sebanyak 43 item memiliki nilai koefisien validitas yang cukup hingga validitas tinggi. Mengikut Borg & Gall (1983) hasil penilaian pakar dapat dijadikan dasar bagi penentuan validitas suatu model. Prosedur seperti ini juga dilakukan oleh peneliti lain ketika mengembangkan suatu model intervensi (mis. Maher 1986).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Konseling RKS yang valid dapat diuji kepraktisan sehingga diketahui bahwa model tersebut dapat diaplikasikan kepada sasarannya, iaitu untuk membantu remaja dalam menyelesaikan konflik dengan teman sebaya. Berdasarkan penelitian kepraktisan, terdapat beberapa hal yang perlu direvisi sehingga sesuai dengan keadaan subjek (remaja) dan dinamik proses konseling.
Penyesuaian yang dilakukan lebih banyak yang bersifat teknis. Mengikut pendapat Borg & Gall (1983) dan Richey et al. (2004) penyesuaian merupakan hal yang harus dilakukan dalam pengembangan suatu model. Penyesuaian tersebut dilakukan agar model yang dikembangkan lebih dapat diterapkan kepada sasarannya. Walau demikian, berdasarkan pengalaman peneliti pada waktu proses konseling dan pendapat klien mengenai keterlibatannya dalam proses konseling dalam menyelesaikan konflik, disimpulkan bahwa Konseling RKS adalah memiliki prosedur yang praktis.
Dengan demikian, menurut Borg and Gall (1983), Jones & Richey (2000) dan Marxt & Hacklin (2005) model Konseling RKS yang telah praktis tersebut dapat diteruskan untuk penelitian efektivitasnya sehingga diketahui kualitas model yang dikembangkan.
6. PENELITIAN III: EFEKTIVITAS MODEL
Tahap yang ketika adalah penelitian untuk mengetahui efektivitas model terhadap variabel yang diukur. Penelitian tahap yang katiga ini lebih bersifat ingin mengetahui kualitas model yang dikembangkan. Jika modelnya tersebut efektif dalam mengubah tingkah laku subjek berarti modelnya adalah berkualitas.
Partisipan. Untuk menetapkan subjek penelitian, dilakukan seleksi terhadap pelajar SMA dan SMK kelas X sampai XII sebanyak 1.373 pelajar di Mataram dan Malang. Mereka mengisi angket hubungan persahabatan. Berdasarkan hasil seleksi terhadap angket tersebut, terdapat 202 pelajar yang mengindikasikan mengalami konflik. Untuk memastikan apakah pelajar tersebut betul-betul mengalami konflik dengan temannya dan memenuhi syarat sebagai subjek penelitian, mereka diseleksi lagi melalui wawancara.
Berdasarkan hasil diseleksi dengan wawancara, sebanyak 96 pelajar yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Dipilih secara random sebanyak 40 pasang (80 individu) dan dibagi menjadi dua kelompok iaitu kelompok eksperimen (40 orang) dan kelompok kontrol (40 orang). Siswa yang menjadi subjek penelitian diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas, status sosial ekonomi, agama, suku bangsa dan tempat tinggal
Ciri-ciri subjek Kelompok eksperimen
(N=40) Kelompok kontrol
(N=40)
1. Usia 16-19 tahun
(M = 16.90; SP = .96) 16-19 tahun
(M = 16.80; SP = .72)
2. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan 20 orang (25%)
20 orang (25%) 20 orang (25%)
20 orang (25%)
3. Kelas
Kelas X
Kelas XI
Kelas XII 15 orang (18.75%)
21 orang (26.25%)
4 orang (5.00%) 13 orang (16.25%)
23 orang (28.75%)
4 orang (5.00%)
4. Status sosial ekonomi
Rendah
Menengah 22 orang (27.50%)
18 orang (22.50%) 21 orang (26.25%)
19 orang (23.75%)
5. Agama
Islam
Nasrani
Hindu 37 orang (46.25%)
1 orang (1.25%)
2 orang (2.50%) 38 orang (47.50%)
1 orang (1.25%)
1 orang (1.25%)
6. Suku bangsa
Sasak
Jawa
Bali 16 orang (20.00%)
22 orang (27.50%)
2 orang (2.50%) 15 orang (18.75%)
24 orang (30.00%)
1 orang (1.25%)
7. Tempat tinggal
Bersama ibu/bapak saja
Bersama kedua orang tua 8 orang (10.00%)
35 orang (43.75%) 3 orang (3.75%)
37 orang (46.25%)
Intervensi. Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah pemberian intervensi Konseling RKS kepada kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol tidak memperoleh intervensi. Pelajar yang menjadi kelompok eksperimen memperoleh layanan Konseling RKS (enam sesi, 60 menit per sesi). Layanan diawali dengan konseling individu sebanyak dua sesi dan selanjutnya memperoleh layanan konseling berpasangan sebanyak empat sesi.
Sesi pertama adalah intervensi individu yang diberikan kepada klien ke-1, klien ke-2 dan jika ada juga kepada klien ke-3. Sesi kedua dilakukan intervensi individu untuk mempersiapkan individu memasuki tahap negosiasi di tahap berikutnya. Pada sesi ketiga, intervensi dilakukan secara berpasangan, iaitu mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya secara langsung dan konselor sebagai mediatornya. Intervensi berpasangan ini dilakukan hingga sesi keenam. Subjek kelompok intervensi memperoleh Konseling RKS 6 sesi x 60 minit bagi setiap kasus, yang diberikan dua kali dalam seminggu. Subjek kelompok kontrol tidak memperoleh intervensi dan masuk daftar tunggu untuk memperoleh intervensi setelah postes.
Variabel Terikat dan Instrumen Pengukuran. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah perilaku damai (peaceful behavior), yaitu sikap, cara, usaha dan kebiasaan individu yang dilakukan untuk memperkuat dan meningkatkan rasa damai baik bagi dirinya mahupun orang lain dalam kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan teman-temannya atau dengan komunitas yang lebih luas. Berdasarkan pendapat Clayton, Ballif-Spanvill, & Hunsaker (2001), Gerstein & Moeschberger (2003) dan Nelson & Christie (1995) perilaku damai terdiri dari tiga aspek iaitu anti kekerasan dan permusuhan (antiviolence and hostilities), strategi penyelesaian konflik (conflict resolution strategies) dan membangun perdamaian (peace building).
Anti kekerasan dan permusuhan (AKP) adalah perilaku damai yang berupa usaha mencegah dan menghilangkan tingkah laku agresif terhadap orang lain dan lingkungannya, menghindari tingkah laku yang mengganggu, serta provokatif dan permusuhan terhadap orang lain. Strategi penyelesaian konflik (StPK) adalah perilaku damai dalam bentuk kemampuan individu menyelesaikan konflik interpersonalnya baik secara konstruktif atau destruktif. Individu yang berperilaku damai lebih konstruktif dalam menyelesaikan konflik yang dialami dibanding dengan individu yang kurang berperilaku damai. Membangun perdamaian (BD) merupakan perilaku damai berupa kemampuan individu dalam membangun hubungan baik dengan pihak lainnya sebagai kebersamaan antar mereka baik dalam keadaan konflik ataupun keadaan bekerjasama. (Clayton et al. 2001; Nelson & Christie 1996; Malhi 2004).
Untuk memperoleh data variabel terikat ini diperoleh dengan skala. Skala diambil dan diterjemahkan dari skala yang sudah ada dengan prosedur back-translation(Brislin 1976). Terdapat tiga instrumen yang digunakan untuk mengukut perilaku damai, yaitu Skala keagresifan dan permusuhan (SAP), Skala Strategi Penyelesaian Konflik (SSPK) dan Skala membangun hubungan perdamaian (SBHP). Sebelum instrumen tersebut diterapkan, telah dilakukan penilian oleh ahli psikologi dan pengukuran untuk menguji validitas konstruk dan dilakukan uji coba kepada kelompok remaja untuk mengukur validitas dan reliabilitasnya.
SAP diterjemehkan dari Aggression Questionnaire (AQ, Buss & Perry 1992), digunakan untuk mengukur tingkah laku AKP. SAP mengandung aspek tingkah laku agresif secara fisik, agresif secara lisan, rasa marah dan bermusuhan dengan orang lain. Dari 29 item yang diuji, terdapat 24 item yang valid dengan nilai validitas (korelasinya dengan keseluruhan item) yang terendah adalah .189 dan nilai validitas tertinggi adalah .474 (berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemukinan kesalahan di bawah .001. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .789.
SSPK diterjemahkan dari Conflict Dynamic Profile Resposes to Conflict Scale (CDP, Davis, Capabianco & Kraus 2004), digunakan untuk mengukur StPK yang terdiri dari aspek gaya individu dalam menyelesaikan konflik secara aktif-konstruktif, pasif-konstruktif, aktif-destruktif dan pasif-destruktif. Dari 15 item, terdapat 13 item yang valid dengan nilai validitas yang terendah adalah .142 dan nilai tertinggi adalah .439 dan berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemungkinan kesalahan di bawah .005. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .688.
SBHP dikembangkan dari Human Relation Skill Questionnaire (FQQ, Malhi 2004), digunakan untuk mengukur tingkah laku BD, yang terdiri dari aspek global kemampuan individu dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain. Sebanyak 15 item dinyatakan valid dengan nilai validitas yang terendah adalah .142 dan nilai tertinggi adalah .439 dan berdasarkan tabel r nilai validitas tersebut kemungkinan kesalahan kurang dari .005. Sedangkan nilai reliabilitas (konsistensi internal) diperoleh Alpha .688.
Analisis Data Pretes. Penelitian ini terdapat dua kelompok iaitu kelompok intervensi (n=40) yang memperoleh Konseling RKS dan kelompok kontrol (n=40) yang tidak memperoleh Konseling RKS. Sebelum dilakukan intervensi perlu dipastikan bahwa min pretes variabel terikat iaitu perilaku damai (PD) dan subkonstruknya untuk kedua kelompok tidak terdapat perbezaan yang signifikan.
Berdasarkan uji-t, min pretes perilaku damai subjek kelompok eksperimen (M = -.253, SB = 1.944) dan kelompok kontrol (M = .252, SB = 2.559) tidak terdapat perbezaan yang signifikan, t (78) = -.993, p > .05. Dengan demikian, kedua kelompok merupakan kelompok yang homogen. Tidak adanya perbedaan yang signifikan juga terjadi pada ketiga subkonstruk, iaitu subkonstruk AKP sebesar t (78) = -.811, p > .05; StPK sebesar t (78) = -.902, p > .05; dan BD sebesar t (78) = -.540, p > .05. Oleh karena itu, min pretes subkonstruk AKP, StPK dan BD antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen.
Analisis Pretes dan Postes. Sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, intervensi psikologi dan konseling efektif dalam meningkatkan kecenderungan perilaku damai, antaranya dilakukan oleh Clayton et al. (2001), Smith, Daunic, Miller & Robinson (2002), Freire, Koller, Piason & Silva (2005), dan Rogers (1987).Berdasarkan berbagai penelitian di atas hipotesis yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
(1) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku damai remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(2) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku anti kekerasan kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(3) Terdapat perbedaan yang signifikan perilaku strategi penyelesaian konflik remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
(4) Terdapat perbedaan yang signifikan tingkah laku membangun perdamaian remaja kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol.
Secara deskriptif diketahui bahawa kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol terdapat perbezaan min pretes dan min postes, baik untuk variabel utama iaitu perilaku damai (M=2.431, SB =.31) mahupun subkonstruk tingkah laku anti kekerasan dan permusuhan (AKP) (M=8.55, SB=204), strategi penyelesaian konflik (StPK) (M=4.95, SB=1.06) dan membangun perdamaian (BD) (M=4.90, SB=1,61). Secara keseluruhan, subjek kelompok eksperimen memiliki min pemdapat terikat lebih tinggi berbanding kelompok kontrol.
Untuk mengetahui diterima atau tidaknya hipotesis tersebut, dilakukan pengujian terhadap hipotesis dengan uji-t. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa terdapat perbezaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol untuk min variabel perilaku damai, t (78) = 7.913, p < .001; AKP, t (78) = 4.199, p < .001; StPK, t (78) = 4.690, p < .001 dan BD, t (78) = 3.037, p < .01. Dengan keputusan tersebut dapat dirumuskan bahwa Konseling RKS efektif dalam meningkatkan perilaku damai dan subkonstruk AKP, StPK dan BD.
Tabel 2 Ringkasan hasil uji-t melihat efektivitas Konseling RKS terhadap variabel terikat
variabel Kelompok Min SB dk t p
Perilaku damai (PD) Eksperimen
Kawalan 1.216
-1.215 1.259
1.481 78 7.913*** .000
Anti kekerasan dan permusuhan (AKP) Eksperimen
Kawalan 8.320
-.230 8.103
10.01 78 4.199*** .000
Strategi penyelesaian konflik (StPK) Eksperimen
Kawalan 3.250
-1.700 4.319
5.090 78 4.690*** .000
Membangun perdamaian (BD) Eksperimen
Kawalan 2.580
-2.330 6.381
7.963 78 3.037** .003
**k<.01; ***k≤.001.

Pembahasan. Berdasarkan hasil analisis, Konseling RKS efektif meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja. Konseling RKS juga efektif meningkatkan subkonstruk tingkah laku anti kekerasan dan permusuhan (AKP), strategi penyelesaian konflik (StPK) dan membangun perdamaian (BD). Hasil penelitian ini mengandung dua pengertian. Pertama, perilaku damai pada dasarnya dapat ditingkatkan ke peringkat yang lebih tinggi, iaitu dari tingkah laku yang kurang damai menjadi tingkah laku yang lebih damai. Kedua, Konseling RKS merupakan metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku damai dan telah terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku damai di kalangan remaja.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pandangan Pendekatan Berpusat Person, bahwa konseling dilakukan untuk meningkatkan keadaan klien menjadi kongruens, iaitu keadaan psikologi klien yang keadaannya tidak mengalami konflik internal dan lebih harmonis dalam berhubungan dengan orang lain (Rogers 1961; 1962; 1963). Subjek yang kongruens akan lebih bersikap damai dengan orang lain (Rogers 1987, Barrett-Lennard 1999; Kirschenbaum 2004).
Penelitian oleh Guneri & Cuban (2004) terhadap remaja di Turki, Friere et al. (2005) kepada remaja di Brazil, Cochran, Ballif-Spanvill, & Hunsaker (2000) kepada kanak-kanak di USA membuktikan bahwa intervensi psikologi berpengruh dalam meningkatkan perilaku damai. Penelitian Barret-Lennard (1999) kepada peserta workshop perdamaian yang menggunakan Pendekatan Pemusatan Person di Amerika Latin juga membuktikan bahwa di antara kelompok yang saling bermusuhan dapat saling menerima dan komunikasi setelah mereka mendiskusikan masalahnya secara terbuka. Berbagai intervensi yang dilakukan oleh konselor di antaranya konseling, latihan resolusi konflik dan komunikasi yang empatetik efektif dalam peningkatan tingkah laku subjek menjadi lebih memahami orang lain, menyelesaikan masalahnya secara konstruktif, dan mengembangkan perilaku damai kepada orang lain.
Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu yang dilakukan dengan metode eksperimen (mis. Shechtman & Nachchol 1996) atau meta-analisis (mis. Clyton et al. 2001; Prout & DeMartino 1986; Wilson & Lipsey 2007) atau penelitian eksperimen secara tidak langsung kepada pelajar (mis. Orpinas & Horne 2004). Berbagai penelitian tersebut merumuskan bahwa intervensi oleh konselor yang berbasis pada kegiatan di sekolah dapat mengurangi sikap dan tingkah laku agresif, meningkatkan kemampuan remaja dalam menyelesaikan konflik interpersonal, dan meningkatkan hubungan interpesonal antar mereka. Dengan kata lain, intervensi tersebut dapat meningkatkan kecenderungan remaja untuk berperilaku damai.
Mengapa konseling RKS berpengruh kepada variabel tersebut? Konseling RKS disusun dengan Pendekatan Berpusat Person. Dia menekankan bahwa keadaan terapeutik harus ada dalam proses konseling untuk menyelesaikan masalah klien. Keadaan terapeutik tersebut adalah keadaan konselor yang kongruens, penghargaan tanpa syarat dan empatetik. Keadaan terapeutik tersebut memberikan kebebasan kepada klien untuk katarsis, membebaskan hambatan emosi, lebih terbuka dan bersedia untuk menyelesaikan masalahnya. Faktor terapeutik tersebut selalu ada sepanjang proses konseling (Lampropaulus 2001; Bloch, Reibstein, Crouch, Holroyd & Themen 1979; Rogers 1946, 2007).
Rogers (2007) menegaskan bahwa keadaan terapeutik tersebut harus terjadi pada proses konseling untuk menghasilkan perubahan kepribadian klien. Sesuai dengan laporan diri klien melalui angket yang diberikan setelah konseling berakhir, klien menyatakan bahwa ia merasakan keadaan terapeutik ketika proses konseling iaitu konselor yang kongruens, empati dan memberikan perhatian ketika memperoleh layanan dengan konseling RKS.
Intervensi yang dilakukan secara tidak langsung iaitu intervensi kepada guru juga berpengruh kepada peningkatan tingkah laku positif di kalangan remaja. Penelitian yang dilakukan Zhang (1994), iaitu pelatihan kepada guru mengenai model resolusi konflik yang konstruktif dan belajar kerjasama berpengruh terhadap peningkatan tingkah laku sosial, mengurangi tingkah laku yang mencelakakan pihak lain, lebih bersikap positif kepada pihak lain dan hubungan interpersonal di kalangan pelajar.
Hasil penelitian ini adalah sesuai dengan teori dan hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh intervensi yang berbasis pada program sekolah dapat mengurangi keagresifan dan permusuhan antar pelajar, dapat meningkatkan kemahiran kanak-kanak dan remaja dalam menyelesaikan konflik, dan dapat mengembangkan hubungan sosial antara mereka.
7 IMPLIKASI PENELITIAN
Pengembangan bidang Psikologi Konseling. Kajian ini merupakan satu usaha untuk menghasilkan suatu model konseling yang disusun untuk kasus yang khusus untuk menyelesaikan konflik antar teman sebaya di kalangan remaja. Meskipun penelitian ini dikembangkan dengan pendekatan yang telah ada, tetapi dari segi prosedur dan kasus yang ditangani adalah masalah yang baru. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi psikologi konseling, khususnya dalam ppenyelesaian konflik antar teman sebaya.
Penerapan Konseling di Sekolah. Selama ini, konseling belum banyak diterapkan untuk menyelesaikan kes konflik antar teman sebaya. Umumnya kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur “pengadilan” (arbitrasi). Penelitian ini memberikan sumbangan, bagaimana kasus konflik antar sebaya di kalangan remaja dapat diselesaikan dengan Konseling RKS.
Peningkatan perilaku damai. Banyak dijumpai sekolah yang bermasalah dengan perilaku pelajarnya yang berulang-ulang belakukan perkelahian dan perilaku kurang damai. Sebenarnya UNESCO telah berkampanye keadaan sekolah yang damai, tetapi pelaksanaannya tidak mudah. Penelitian ini memberikan sumbangan bagaimana membangun sekolah yang damai melalui Konseling RKS.
8. KETERBATASAN DAN USULAN UNTUK PENELITIAN MENDATANG
Masalah yang dijumpai dalam penelitian ini antara lain: adanya pelajar yang tidak konsisten dengan kesepatan awal misalnya dia menghentikan proses konseling sebelum seluruh konseling diselesaikan, pelaksanaan konseling dilakukan ketika jam pelajaran yang membuat siswa kurang siap memasuki sesi konseling, waktu pemberian intervensi antara klien yang satu dengan yang lain tidak sama yang memungkinkan dapat berpengaruh kepada hasil penelitian, siswa merasa terganggu dipanggil konselor untuk proses konseling karena dianggap ada masalah baik oleh temannya maupun oleh guru, dan peneliti adalah bertindak sebagai konselor dalam pemberian intervensi. Masalah-masalah tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap hasil penelitian.
Untuk penelitian yang akan datang faktor-faktor yang menjadi masalah dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan dan diperhatikan untuk keperluan pengurangan bias terhadap hasil penelitian. Dengan demikian hasilnya nanti akan lebih baik. Untuk keperluan validitas eksternal, dalam penelitian yang yang akan datang diharapkan kajian ini diperluas dari segi subjeknya, karakteristik kepribadiannya, latar belakang budaya, jenis konflik dan keadaan keluarga yang dipandang oleh banyak ahli turut mempengaruhi hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L.R. 1980. Content validity and reliability of single items or questionnaires.Educational and Psychological Measurement 40: 955-959.
Aryanto, A. 1992. Tinjauan teori Reasoned Action dan Planned Behavior mengenai tingkah laku terlibat dalam perkelahian pada siswa SLTA dan STM di Jakarta. Tesis Master, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Jakarta.
Bagdonis, A.S. & Salisbury., D.F. 1994. Development validation of models in instructional design. Educational Technology April: 26-32.
Barrett-Lennard, G.T. 1998. Carl Rogers’ helping system: journey and substance. London: Sage Publications
Bertrand, J. 2005. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. London: Cambridge University Press.
Bloch, S., Reibstein, J., Crouch, E., Holroyd, P. & Themen, J. 1979. A method for the study of therapeutic factors in group psychotherapy. British Journal of Psychiatry 134: 257-263.
Borg, W.R. & Gall, M.D. 1983. Educational research: an introduction. Edisi ke-3. New York: David McKay
Brislin, R.W. 1976. Comparative research methodology: cross-cultural study.International Journal of Psychology 11 (3) 215-229.
Buss, A.H. & Perry, M. 1992. The Aggression questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology 63: 452-459
Clayton, C.J., Ballif-Spanvill, B. & Hunsaker, M.D. 2001. Preventing violence and teaching peace: lanjutkan. Applied and Preventive Psychology 10: 1-35.
Cochran, J.L., Cochran, N.H., & Hatch, E.J. 2002. Empathetic communication for conflict resolution among children. The Person-Centered Journal 9 (2): 110-118.
Colombijn, F. & Lindblad. 2002. Roots of the violence in Indonesia. Singapura: Institut of Southeast Asia Studies
Davis, M.H., Capabianco, S., & Kraus, L.A. 2004. Measuring conflict-related behaviors: reliability and validity evidence regarding the conflict dynamics profile. Educational & Psychological Measurement 64 (4): 707-731
Deutsch, M. 1993. Educating for a Peaceful World. American Psychologist. 48 (5): 510-517
Druckman, D. 2005. Doing Research: methods of inquiry for conflict analysis. Oaks/California: Sage Publication.
Freire, E.S., Koller, S.H., Piason, A., & Silva, R.B. 2005. Person-Centered Therapy with impoverished, maltreated, and neglected children and adolescents in Brazil. Journal of Mental Health Counseling 27 (3) 225+. http://www.questia.com/ PM.qst?a [20 November 2006]
Gani, A.H. 2000. Konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok di terminal bus antarkota Kampung Rambutan Jakarta Timur. Tesis Mater Universitas Indonesia Jakarta.
Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.
Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.
Guneri, Y. & Coban, R. 2004. The effect of conflict resolution training on Turkish elementary school students: a quasi-experimental investigation. International Journal for the Advancement of Counseling 26 (2) 109-124.
Habib, A. 2004. Konflik antaretnik di pedesaan: Pasang surut hubungan Cina-Jawa.Yogyakarta: LKIS.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1994. Constructive conflict in the schools. Journal of Social Issues 50 (1): 117-137.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1995. Teaching student to be peacemaker: Results of five years of research. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1 (4): 438+ http://www.questia.com/ PM.qst?a=o&d=76938931
Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., & Acikgos, K. 1994. Effect of conflict resolution training on elementary school students. Journal of Social Psychology 134 (6): 803-817
Kirschenbaum, H. 2004. Carl Rogers’s life and work an assessment on the 100thanniversary of his birth. Journal of Counseling and Development 82 (1) 116+.
Lampropoulus, G.K. 2001. Common processes of change in psychotherapy and seven other social interactions. British Journal of Guidance and Counselling 29 (1): 21-33.
Latipun. 2005. Penanganan sekolah terhadap konflik antar remaja. Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.
Laursen, B., Finkelstein, B.D., Betts, N.T. 2001. A developmental meta-analysis of peer conflict resolution. Developmental Review 21: 423-449.
Maher, C.A. 1986. Evaluation of a program for improving conflict management skills of special services directors. Journal of School Psychology 24: 45-53.
Malhi, R.S. 2004. Enhancing personal quality. Kuala Lumpur: TQM Consultants SDN. Bhd.
Marxt, C. & Hacklin, F. 2005. Design, product development, innovation: all the same in the end? A short discussion on terminology. Journal of Engineering Design 16 (4): 413-421.
Matindas, R. 1996. Tawuran pelajar: produk usang dalam kemasan baru. Tempo, 20 Apr 1996
Moonen, J. 1999. The design and prototyping of digital learning material: some new perspectives. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 95-112). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Nelson, L.L. & Christie, D.J. 1995. Peace in the psychology curriculum: moving from assimilation to accommodation. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1 (2): 161-178.
Newman, R.S., Murray, B., & Lussier, C. 2001. Confrontation with aggressive peers at school: Student’ reluctance to seek help from the teacher. Journal of Educational Psychology 93 (2): 398-410
Nieveen, N. 1999. Prototype to reach product quality. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 125-135). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Orpinas, P. & Horne, A.M. 2004. A teacher-focused approach to prevent and reduce students’ aggressive behavior: the GREAT teacher program. American Journal of Preventive Medicine 26 (1S): 29-38.
Page, R.M., & Hammermeister, J. 1997. Weapon-carrying and youth violence.Adolescence 32 (127): 505-513.
Prout, H.T. & DeMartino, R.A. 1986. A Meta-analysis of school-based studies of psychotherapy. Journal of School Psychology 24: 285-292.
Rais, M.F. 1997. Tindak pidana perkelahian pelajar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ratnawati, T. 2006. Maluku: dalam catatan seorang peneliti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Richey, R.C., Klein, J.D., & Nelson, W.A. 2004. Developmental Research. Dlm. Jonassen, D.H. (pnyt.) Handbook of research on educational communications and technology. Edisi ke 2, hlm. 1099-1130. Mahwah, NJ. Lawrence Erlbaum Ass.
Rogers, C.R. 1946. Significant aspect of Client-Centered Therapy. American Psychologist 1: 415-233. Online: http//psychclassic.yorku.ca/Rogers
Rogers, C.R. 1961. On becoming a person. Boston: Houghton Mifflin Co.
Rogers, C.R. 1962. The Interpersonal relationship: the core guidance. Harvard Educational Review 32 (2): 416-429.
Rogers, C.R. 1963. The concept of the fully functioning person. Psychotherapy: Theory, Research, Practice 1 (1): 17-26.
Rogers, C.R. 1987. The understanding theory: drawn from experience with individual and group. Counseling and Values 32 (1): 38-46.
Rogers, C.R. 2007. The necessary and sufficient conditions of therapeutic personality change. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training 44 (3): 240-248 (cetak ulang Journal of Consulting Paychology 21: 95-103.
Shechtman, Z & Nachshol, R. 1996. A school-based intervention to reduce aggressive behavior in maladjusted adolescents. Journal of Applied Developmental Psychology17: 535-552.
Smith, S.W., Daunic, A.P., Miller, M.D., & Robinson, T.R. 2002. Conflict resolution and peer mediation in middle schools: extending the process and outcome knowledge base. The Journal of Social Psychology 142 (5) 567-586.
Theberge, S.K. & Karan, O.C. 2004. Six factors inhibiting the use of peer mediation in a Junior High School. Professional School Counseling 7 (4): 283-290.
Valcke, M., Kirschner, P., & Bos, E. 1999. Enabling technologies to design, produce and exploit flexible, electronic learning material. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 249-264). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher
van den Akker, J. 1999. Principles and method of development research. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training, hlm. 1-14. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Wilson, S.J. & Lipsey, M.W. 2007. School-based interventions for aggressive and disruptive behavior. American Journal of Preventive Medicine 33: S131-S143.
Zhang, Q. 1994. An Intervention model of constructive conflict resolution and cooperative learning. Journal of Social Issues 50 (1): 99-116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar